MPR RI Sebagai Penjaga Marwah Bangsa  

  • Bagikan
MPR RI Sebagai Penjaga Marwah Bangsa  

Oleh: Andy Yanto Aritonang

Pengertian konsitusi adalah hukum dasar. Hukum dasar tertulis adalah Undang Undang Dasar. Jika dalam tulisan ini disebut konstitusi, maka yang dimaksud adalah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, serta praktek penyelenggaraan negara sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945.

Jelasnya UUD 1945 yang telah mengalami perubahan dan berlaku sekarang ini.

Sebelum UUD 1945 mengalami perubahan sebanyak empat tahap pada tahun 1999-2004, peranan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dalam penyelenggaraan negara amat dominan dimana MPR menjadi lembaga tertinggi negara, sedang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan lembaga tinggi negara.

MPR RI menetapkan UUD, Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Ketetapan (TAP) MPR lainnya, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Dengan demikian, Presiden dan Wakil Presiden bertanggungjawab kepada MPR yang memilih. Sebagai pelaksana dari kedaulatan rakyat.

MPR RI terdiri dari DPR RI, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Anggota DPR RI dipilih sekali 5 tahun melalui pemilihan umum (pemilu). Sedang Utusan Daerah, dipilih oleh anggota DPRD Propinsi dan Utusan Golongan merupakan wakil – wakil golongan yang ditetapkan oleh Presiden. 

MPR RI bersidang sedikitnya sekali dalam 5 tahun di Ibukota Negara dan menjadi agenda kenegaraan penting. Bukan saja karena berlangsung sekali dalam 5 tahun, akan tetapi, juga karena banyaknya agenda yang harus diselesaikan di dalam sidang – sidang MPR tersebut.

Karena Orde Baru (Orba), mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, maka dasar negara ini tidak pernah dibahas dalam sidang – sidang MPR. Yang dibahas adalah garis garis besar haluan daripada satu negara, yang terdiri dari GBHN serta TAP MPR lainnya.

GBHN merupakan panduan bernegara, yang disusun oleh MPR untuk 5 tahun ke depan, dijalankan oleh pemerintah (Presiden) serta lembaga negara lainnya. Untuk melengkapinya,  dibahas dan disusun pula Keputusan dan Ketetapan MPR lainnya. 

Bersama itu dilakukan evaluasi penyelenggaraan negara, yang dijalankan oleh lembaga – lembaga negara, teristimewa oleh Pemerintah yang dipimpin oleh Presiden. Dilanjutkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presidan untuk menjalankan GBHN dan TAP yang telah disusun.

                          Perubahan UUD 1945

Melalui tuntutan reformasi, UUD 1945 mengalami perubahan. Masyarakat menuntut perubahan politik. Keresahan sesungguhnya dan telah lama berlangsung. 

Mengikuti perkembangan di berbagai negara, terjadi arus demokratisasi. Rakyat menginginkan untuk turut serta dalam kehidupan politik, khususnya di dalam penyelenggaraan negara.

Tuntutan reformasi oleh rakyat (melalui pemuda dan mahasiswa serta unsur masyarakat lainnya), meminta dilakukan reformasi di semua bidang. Tuntutan yang paling nyata adalah amandemen UUD 1945, diakhirinya dwifungsi ABRI, penegakan hukum, pemberian otonomi daerah, pemberantasan korupsi dan beberapa tuntutan lainnya.

Dari tuntutan itulah terjadi perubahan UUD 1945. Jadi perubahan UUD 1945 karena tuntutan reformasi dan bukan keinginan dari elit politik. 

Karena perubahan UUD 1945 dilakukan secara luas ketika itu, tidak hanya sekedar di lingkungan MPR dan elit politik lainnya.

Semula rakyat menuntut agar penyusunan perubahan UUD 1945 dilakukan sekelompok orang yang dianggap independen. Tapi kemudian disepakati dilakukan oleh MPR sendiri, tapi dengan melibatkan seluas – luasnya kalangan intelektual melalui perguruan tinggi, organisasi sosial kemasyarakatan, melibatkan masyarakat ditingkat nasional maupun di daerah – daerah. Bahkan di luar negeri. 

Untuk tugas penting ini, MPR kemudian membentuk Badan Pekerja (BP). Kemudian Di BP dibentuk Panitia Ad Hoc (PAH).

Materi perubahan UUD 1945 disiapkan oleh PAH I BP MPR. Panitia inilah yang bekerja sepenuhnya. Masing – masing fraksi menyiapkan naskah akademik dari setiap partai politik, untuk disampaikan di dalam rapat PAH. Berdasarkan rapat – rapat PAH I BP MPR itu,  disusun kesepakatan dasar perubahan UUD 1945.

Misalnya tentang posisi Pembukaan UUD 1945, bentuk negara, posisi Penjelasan, dan berbagai hal penting lainnya.

Setiap yang telah disepakati ditingkat PAH I BP MPR ini, disampaikan kepada semua unsur yang berkepentingan, semua komponen bangsa, unsur masyarakat, baik di pusat maupun di daerah, untuk diberi tanggapan dan dimintai masukan.

Langkah seperti ini berjalan untuk setiap proses perubahan yang ditempuh. Baik dalam bentuk naskah maupun dalam bentuk yang sudah disepakati. Jadi alurnya dan langkah – langkah yang ditempuh jelas. Yang sudah disepakati ditingkat BP MPR, dibawa ke Sidang Tahunan MPR. Di dalam sidang – sidang ini juga berlangsung agenda yang disusun, baik ditingkat lobi, rapat ditingkat komisi, rapat tim perumus, sampai dibawa ke sidang paripurna MPR, untuk diminta persetujuan.

Sementara, materi yang belum disepakati, dibawa lagi dalam pembahasan PAH. Dirapatkan kembali. Dimintai pendapat semua unsur, baik organisasi masyarakat, untuk kemudian dirumuskan, dan dilobi untuk mendapatkan kesepakatan. 

Dengan mekanisme seperti di atas, maka perubahan demi perubahan disepakati. Jadi perubahan UUD 1945 berlangsung sampai 4 tahapan, sejak 1999 s/d 2002 himgga membuat banyak perubahan terjadi. 

Misalnya, masa jabatan Presiden hanya 2 periode. Artinya, siapa yang ingin jadi presiden, susunlah programnya sepanjang masa itu. Jangan lagi berpikir memperpanjang masa jabatan.

Lantas Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Kalau Kepala Daerah, sebagaimana yang dirumuskan di Pasal 18 dipilih secara demokratis. Bisa dipilih langsung oleh rakyat, bisa oleh wakil – wakil rakyat (DPRD). Terserah kepada si pembuat undang undang.

Kemudian dibentuk 3 lembaga negara baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.

Sementara anggaran pendidikan dipatok 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sedangkan terkait Pemilu ditegaskan di perubahan UUD 1945. Demikian pula pelaksanaannya. 

Tugas Mahkamah Agung juga kian meluas. Tidak hanya melalukan peradilan kasasi, tapi semua peradilan berada dibawah tanggungjawab Mahkamah Agung. 

Demikian pula BPK, kian dipertegas keberadaannya. Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. BPK berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan disetiap propinsi (Pasal 23G ayat 1). Dan masih banyak yang lain.

MPR juga mengalami perubahan. Bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara seperti sebelumnya. MPR menjadi lembaga negara, sebagaimana DPR, DPD, Presiden, MK, MA, KY dan BPK.

Fungsinya tetap ada yakni mengubah dan menetapkan UUD. Tapi tidak lagi menetapkan garis garis besar daripada haluan negara.

MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal tertentu memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (lihat Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 8).

Susunan MPR juga mengalami perubahan mendasar. Semua anggota MPR dipilih oleh rakyat. Tak ada lagi yang diangkat, seperti sebelumnya.

Anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum (lihat Pasal 2).

                                MARWAH

Uraian ini menunjukkan bila MPR RI sekarang ini bukan lagi MPR RI seperti sebelum perubahan UUD 1945. Anggota MPR RI sekarang ini hadir dari perubahan UUD 1945. Dengan demikian, seharusnya menyadari keberadaannya di dalam penyelenggaraan negara.  Semangat yang harus mereka bawakan adalah semangat perubahan. Semangat UUD 1945 yang sudah mengalami perubahan. Semangat reformasi, semangat demokratisasi.


Karenanya MPR RI mendatang  perlu menyadari bila lembaga MPR dilahirkan oleh semangat reformasi, yang merupakan aspirasi rakyat yang menginginkan aspirasinya dapat diwujudkan.

Sebagaimana diuraikan di atas, proses perubahan UUD 1945 merupakan kehendak rakyat. Bukan kehendak lembaga MPR sendiri, apalagi hanya sebatas elitnya semata. 

Karena itu, semangat utama yang harus mereka bawakan, suarakan, dan perjuangankan adalah semangat reformasi. Bukan semangat mundur kebelakanga, ingin kembali ke masa lalu. Atau sekedar ingin mengubah.

Tidak berarti UUD 1945 tidak boleh diubah. Justru yang berlaku sekarang ini adalah hasil perubahan. Dan perubahan itu datangnya dari rakyat. Dilakukan bersama aspirasi rakyat. Bukan semata aspirasi partai politik, apalagi aspirasi orang perorang.

Jika memang suatu saat, dianggap ada hal – hal yang perlu dilakukan perubahan, langkahnya sudah ada. Itulah gunanya disediakan Pasal 37.

Sebelum langkah itu ditempuh tentu perlu kajian yang mendalam. Sebagaimana dipahami Pancasila dan UUD 1945 adalah dasar bernegara. Sesungguhnya kalau disebut UUD 1945, maka Pancasila sudah termasuk di dalamnya. Karena Pancasila tertuang di Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat.

Prinsip dasar Pancasila inilah yang memberi inspirasi bagi keseluruhan materi UUD 1945, baik pembukaannya sendiri (Dimana diuraikan prinsip- prinsip bernegara itu, sejarah perjuangan bangsa, prinsip dasar membentuk negara, tujuan didirikannya negara serta pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia). 

Sejarah terbentuknya Pancasila ini, tentulah melalui tahapan panjang. Rumusan naskahnya sendiri sudah didiskusikan dan diperdebatkan di dalam sidang – sidang Badan Penyelidik Usaha- usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan kemudian diselesaikan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Konsep awal disampaikan Bung Karno di dalam pidato 1 Juni 1945, juga pidato Yamin, kemudian dirumuskan dalam bentuk Piagam Jakarta yang juga diketuai Ir Soekarno sebagai naskah tanggal 22 Juni 1945, dan kemudian disempurnakan lagi sampai diputuskan di Pembukaan UUD45 yang disepakati dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Sebenarnya banyak perdebatan tentang ini. Rumusannya sesuai Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945. Tapi Presiden Jokowi telah menetapkan Hari Pancasila tanggal 1 Juni. Yang menarik, DPR RI pernah merancang RUU Haluan Ideologi Pancasila berdasar Pancasila 1 Juni 1945. Untung kemudian dibatalkan. Kita anggap selesailah soal itu.

Pancasilanya sesuai di Alinea 4 Pembukaan UUD 1945 yang selama Orde Baru disosialisasikan. Kini persoalan UUD 1945, juga sudah jelas naskahnya sesuai perubahan UUD 1945 yang diuraikan di atas.

Meski begitu masih banyak yang mempersoalkan, apakah karena naskah tidak disukai sebab perbedaan pemahaman, atau  kekeliruan memahaminya, dan mungkin juga karena pelaksanaannya dirasa kurang sesuai dengan UUD 1945.

Bisa jadi bukan karena UUD 1945, bukan pula karena Undang Undang atau peraturan pelaksanaannya, melainkan karena perilaku manusianya. Masing – masing dapat ditunjukkan contohnya. Kalau UUD 1945 kurang sempurna, bisa pula dimaklumi.

Menurut teori konstitusi tidak mungkin sebuah konstitusi memuaskan semua rakyatnya. Ada saja ketidakpuasan itu. Demikian pula halnya, tidak ada konstitusi yang sempurna. Selalu memiliki kekurangan. Akan tetapi kajian tentang konstitusi itu perlu dilakukan secara baik dan terhormat.

Bisa juga bukan karena UUD yang kurang sempurna, akan tetapi tidak dipahami secara baik. Contohnya seseorang yang menuding presidensial threshold 20 persen karena perubahan UUD 1945. Padahal materi itu tidak ada di UUD 1945. Rumusan itu terdapat di Undang Undang Pemilu.

Jadi yang bersangkutan tidak memahami beda UUD dengan UU. Demikian juga halnya tentang praktek ekonomi, yang dituding karena perubahan UUD 1945. Padahal pelaksanaan perekonomian itu diatur di Undang Undang.

Sejalan dengan itu, praktek perekonomian yang kurang memberi kesempatan pada koperasi lebih disebabkan karena praktek perekonomiannya. Bukan soal UUD 1945. Karena perubahan UUD 1945 sama sekali tidak mengganggu Pasal 33 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yang mengatur soal perekonomian.

Ketika membahas nepotisme dan dinasti politik, bukankah hal itu tidak terkait dengan UUD 1945, Undang Undang dan Peraturan perundang-undangan?. Kalaupun menyangkut UU atau Peraturan Perundang-undangan, bukankah lebih disebabkan karena aktor penyelenggara negaranya?.

Sama saja dengan praktek suap menyuap, sogok menyogok, akan dominan pada faktor manusia. Acap menyangkut etika, yang terkait langsung dengan faktor manusianya.

                                 MODERN

Kedepan faktor manusia ini akan amat menentukan. Sebagaimana yang sering diingatkan dalam pelaksanaan hukum, bagaimanapun bagusnya landasan bernegara, undang undang dan peraturan yang disusun, pada akhirnya akan tergantung pada manusianya.

Padahal manusia modern akan semakin fragmatis. Semakin jauh dari nilai – nilai kehidupan yang dianggap sudah usang. Hal semacam ini kian dihadapi generasi muda Indonsia yang semakin jauh dari nilai – nilai budaya, nilai kehidupan yang kental dengan aturan dan sopan santun.

Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin menjauhkannya lagi. Tapi kalau bisa dimanfaatkan dengan baik, justru akan semakin mendekatkannya. Tapi bangsa dan negara tetap harus berkelanjutan. Keadaan seperti ini harus lebih merancang para elit bangsa, para pengelola negara, untuk tetap memelihara kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dan itulah tanggungjawabnya. Negara mengangkat dan membayar para penyelenggara negara untuk itu. Terutama lembaga MPR.

Mungkin disinilah pentingnya dibentuk pimpinan serta perangkat MPR lainnya. Untuk dapat melihat persoalan bangsa secara utuh. Khususnya yang menyangkut prinsip – prinsip bernegara.

Sebagaimana judul tulisan ini, MPR sebagai penjaga marwah bangsa. Yang pertama MPR perlu sadar, bahwa MPR terbentuk dari perubahan UUD 1945. Dengan sendirinya bertanggungjawab untuk menjaganya. 

Bahkan bertanggungjawab untuk memberi pemahaman kepada seluruh komponen bangsa. Bukan sebaliknya, mencoba menganulir atau melemahkannya.

Dengan demikian, MPR harus menyusun program menyeluruh untuk mensosialisasikan seluruh materi perubahan UUD 1945 serta hal – hal yang terkait dengan penyelenggaraan negara secara luas. 

Program ini amat penting ketika selama ini seolah terabaikan. Bahkan tampak seolah dilemahkan, dengan cara mempersoalkan perubahan UUD 1945, bahkan ingin mengubahnya lagi, padahal argumentasinya tidak kuat.

Dalam pelaksanaannya, ambillah contoh seperti sosialisasi yang dijalankan selama Orde Baru dalam bentuk Penataran P4 (ekaprasetya pancakarsa). Apakah MPR RI bersama Badan Pembinaan Indeoogi Pancasila (BPIP) atau MPR RI secara tersendiri. Tapi punya konsep yang jelas. Ditujukan kepada seluruh komponen bangsa, Jangan seperti sosialisasi 4 Pilar yang selama ini, tampak kurang sistematis, baik manajemen penyelenggaraannya maupun materi sosialisasinya. Apalagi pesertanya, yang hanya konsituen wakil rakyat yang bersangkutan.

Sejalan dengan itu, yang perlu ditempuh adalah mengumpulkan seluruh komponen bangsa (khususnya mereka yang hidup dan pernah terlibat di dalam perubahan UUD 1945, yakni  tahun 1999-2004  untuk merumuskan materi sosialisasi yang sebaiknya.

Jika penataran P4 dulu, materinya terdiri dari UUD 1945 dan GBHN, kini mungkin bisa dibagi dalam Pancasila, UUD 1945 dan MPR RI.

Sosialisasi ini bisa dicobakan pada seluruh anggota MPR (anggota DPR dan anggota DPD) periode 2024 – 2029. Baru disusun silabus, dan manajemen sosialisasi.

Menyosongsong era baru kepemimpinan nasional, tampaknya langkah ini perlu dilaksanakan, Selamat memasuki era modern bagi penjaga marwah bangsa.  Semoga!.

Penulis wartawan Waspada di Parlemen, Jakarta.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *