Scroll Untuk Membaca

Opini

Dinamika Kerukunan dan Restu Pendirian Rumah Ibadah

Dinamika Kerukunan dan Restu Pendirian Rumah Ibadah
Kecil Besar
14px

 
Oleh: Muhammad Syukri Albani Nasution dan Ahmad Tamami Jakfar

Mari kita mundur sejenak untuk merawat ingatan, menilik kembali bagaimana kerukunan umat beragama sebelum tahun 2006. Kita mulai dari tahun 1965, ketika PKI gagal mencapai hasil maksimal dari revolusi yang mereka lakukan. Meskipun gagal, revolusi itu menjadi salah satu titik perubahan dalam situasi politik dan kehidupan beragama di Indonesia.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Dinamika Kerukunan dan Restu Pendirian Rumah Ibadah

IKLAN

Kita tentu mengingat bagaimana “kerjasama” antara Orde Lama dan kelompok Islamis untuk “menumpas habis” PKI. Irama agama didendangkan; menjadi Muslim seakan harus memusuhi PKI. Kerjasama itu pada akhirnya mengkonsolidasikan ideologi dan kekuatan sosial baru: “Islamisme”.

Namun, PKI tidak tinggal diam. Catatan Boland (1985: 243) mengungkapkan bahwa banyak anggota PKI mengkonversi keyakinan mereka menjadi Kristen, karena menurut mereka, umat Kristen tidak terlibat dalam pembantaian kelompok mereka sebagaimana umat Islam. Sukamto (2013: 35-36) juga mencatat bahwa di rentang tahun yang sama, terjadi proses konversi besar-besaran ke Kristen di berbagai wilayah Indonesia. Gereja Batak Karo di Sumatera Utara berkembang pesat pada tahun 1965, demikian pula di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan wilayah lainnya.

Bagaimana respons kelompok Islamis yang baru tumbuh? Mereka menuduh sebagian gereja Kristen “memancing di air keruh.” Menurut mereka, gereja Kristen mengambil kesempatan di situasi yang belum stabil itu, meskipun tuduhan bahwa gereja melindungi PKI bisa saja dibantah. Yang terpenting adalah melihat bagaimana akhirnya. Jelas, konflik antaragama kembali mencuat. Inilah yang menjadi alasan mengapa antarumat beragama saling curiga terkait kegiatan di masing-masing rumah ibadah.

Hal ini terbukti, bahwa dalam rentang tahun 1945 hingga 1965, tidak terdapat konflik fisik antaragama. Namun, pada tahun 1967 mulai timbul kesulitan dalam membangun rumah ibadah, seperti kasus Gereja Metodis di Meulaboh (Aceh Barat) dan perusakan gereja oleh sekelompok pemuda Islam di Makassar pada 1 Oktober 1967.

Melihat potensi dan gejolak konflik antarumat beragama di Indonesia kala itu, pemerintah Indonesia mengadakan Musyawarah Antar Agama pada 30 November 1969 di Gedung Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Jakarta. Musyawarah ini menghadirkan pemuka agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Pemerintah kemudian mengusulkan pembentukan Badan Konsultasi Antar Agama, meskipun usulan ini akhirnya hanya ditimbang dan tidak pernah terwujud.

Pada akhirnya, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan, Pengembangan dan Ibadat Agama. Pertanyaannya, mengapa usulan pemerintah untuk membentuk Badan Konsultasi Antar Agama tidak terlaksana? Salah satu alasannya adalah karena piagam yang ditandatangani melarang penyebaran agama kepada umat yang sudah menganut agama tertentu. Penolakan ini memiliki catatan tersendiri bahwa pemuka agama yang hadir dan menolak kala itu, tidak mempertimbangkan bahwa tindakan mereka bisa semakin memantik konflik agama.

Untuk mempersingkat, mari kita maju ke tahun 1999. Menjelang pemilu tahun 1999, identitas agama menjadi sangat populer. Kepopuleran identitas agama ini dipicu oleh kepentingan sekelompok politisi yang sangat mahir menjadikan agama sebagai tunggangan hasrat kekuasaan. Alih-alih memanfaatkan agama untuk mendukung agenda reformasi, mereka justru melempar agama lalu menyembunyikan tangan. Padahal, pada tahun 1998, konflik agama di Poso yang menyeramkan baru saja terjadi.

Pada 19 Januari 1999, konflik Ambon pecah; ketegangan antarumat terjadi di berbagai belahan Indonesia. Sampai saat ini, api konflik itu tidak benar-benar padam. Hal ini terbukti dengan masih adanya konflik terkait pendirian rumah ibadah di Indonesia.

Pada tahun 2006, sebagai bentuk penyempurnaan peraturan sebelumnya, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri membentuk tim khusus untuk membahas penyempurnaan SKB No. 01 Tahun 1969. Proses penyempurnaan ini melibatkan anggota tetap dan majelis-majelis agama yang diwakili oleh dua orang. Pertemuan tersebut berlangsung sebanyak 11 kali dan hasilnya dirumuskan dalam bentuk Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 yang berisikan Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat.

Baru-baru ini, Menteri Agama telah menyita perhatian publik, terkait pernyataannya tentang pendirian rumah ibadah yang cukup diajukan perizinannya ke Kemenag, dan syarat rekomendasi dari FKUB untuk mendirikan rumah ibadat akan dihapuskan. Menurut Yaqut Cholil, rekomendasi FKUB ini mempersulit pendirian rumah ibadah oleh umat minoritas di lingkungan umat mayoritas.

Menariknya, pernyataan Menteri Agama ini mendapat “teguran” dari Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin. Bahwa Menteri Agama tidak seharusnya “mencorat-coret” aturan pendirian rumah ibadah tersebut. Mengingat bahwa aturan itu sudah dikaji secara panjang dan melibat berbagai majelis agama; aturan tersebut juga merupakan rekomendasi majelis-majelis agama di Indonesia.

Pertanyaannya, seberapa penting rekomendasi FKUB untuk mendirikan sebuah rumah ibadah?

Penulis sangat percaya, bahwa Menteri Agama sudah mengkaji secara serius dan jujur terkait pernyatannya untuk menghapus syarat rekomendasi FKUB dalam pendirian rumah ibadah. Namun demikian, penulis ingin mengajukan beberapa pertimbangan—bersama  sejarah—bahwa syarat mendapatkan rekomendasi FKUB untuk mendirikan rumah ibadah itu adalah idealitas yang dibutuhkan untuk menjaga dan merawat kerukunan umat beragama di Indonesia.

Rekomendasi dari FKUB untuk mendirikan rumah ibadah sangat penting dan memiliki landasan kuat dari segi hukum, sosial, dan keberlanjutan harmoni dalam masyarakat. Berikut adalah argumentasi yang mendukung pentingnya rekomendasi FKUB tersebut:

Pertama, mencegah potensi konflik sosial

Indonesia adalah negara dengan keragaman agama dan kepercayaan yang sangat tinggi. Pendirian rumah ibadah tanpa adanya rekomendasi dari FKUB bisa memicu ketegangan antarumat beragama, terutama di daerah yang masyarakatnya heterogen. FKUB, sebagai lembaga yang terdiri dari perwakilan berbagai agama, memiliki peran strategis untuk menilai apakah pendirian rumah ibadah di suatu tempat berpotensi menimbulkan konflik atau tidak. Dengan rekomendasi FKUB, pembangunan rumah ibadah dapat lebih terjamin keamanannya dan diterima oleh masyarakat setempat, sehingga mencegah konflik sosial.

Kedua, menjaga harmonisasi dan kerukunan antarumat beragama.

Salah satu tujuan utama FKUB adalah menjaga kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Pendirian rumah ibadah tanpa memperhatikan aspirasi dan sensitivitas komunitas lain bisa merusak kerukunan yang sudah ada. Dengan adanya rekomendasi FKUB, pembangunan rumah ibadah dilakukan dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai kelompok agama di daerah tersebut. Ini memastikan bahwa proses pendirian dilakukan secara inklusif, sehingga semua pihak merasa dihargai dan diperhatikan.

Ketiga, memberikan kepastian dan legitimasi.

Rekomendasi FKUB memberikan kepastian dan legitimasi bagi pendirian rumah ibadah. Ini memberikan perlindungan bagi umat yang akan menggunakan rumah ibadah tersebut dari potensi penolakan atau gangguan dari pihak-pihak tertentu. Dengan rekomendasi ini, rumah ibadah tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga mendapat pengakuan dari komunitas setempat.

Keempat, memfasilitasi dialog dan pemahaman antarumat beragama.

Proses mendapatkan rekomendasi dari FKUB mendorong adanya dialog antar komunitas agama. Ini menjadi kesempatan untuk saling memahami kebutuhan, kekhawatiran, dan harapan masing-masing kelompok. Dialog semacam ini penting untuk memperkuat kohesi sosial dan menciptakan masyarakat yang lebih harmonis.

Kelima, melindungi Hak Asasi Manusia dalam konteks kebebasan beragama

Meskipun kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi, pelaksanaannya harus dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan hak dan kewajiban. Rekomendasi FKUB memastikan bahwa kebebasan mendirikan rumah ibadah tidak mengganggu ketertiban umum dan hak-hak kelompok lain. Ini adalah bentuk perlindungan hak asasi manusia yang adil dan seimbang dalam konteks masyarakat yang plural.

Secara ringkas, rekomendasi FKUB bukan hanya prosedural tetapi esensial dalam memastikan bahwa pendirian rumah ibadah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kerukunan yang berlaku. Tanpa rekomendasi FKUB, pendirian rumah ibadah bisa menimbulkan masalah sosial yang serius, yang pada akhirnya bisa mengganggu keharmonisan masyarakat. Perlu ditegaskan, bahwa kelima pertimbangan di atas bukanlah sekadar harapan kerja FKUB, tetapi merupakan hasil perjuangan yang telah ditempuh FKUB selama ini.

Sebagai penutup, dengan kerendahan hati, penulis meminta Kementerian Agama agar mempertimbangkan ulang penghapusan syarat rekomendasi FKUB dalam pendirian rumah ibadah. Menjadikan rekomendasi FKUB sebagai syarat untuk mendirikan rumah ibadah harus kita pertahankan. Penulis juga berharap, agar sendu lara kerukunan antarumat beragama yang disebabkan adanya usulan tersebut segera kita akhiri, agar kita tidak mundur ke belakang dalam konotasi yang negatif.

Kedua penulis adalah Pengurus FKUB Kota Medan
 

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE