GLOBAL warming atau pemanasan global menjadi salah satu isu global paling hangat dalam beberapa dekade terakhir ini. Isu ini banyak dibincangkan di berbagai forum oleh banyak kalangan di dunia.
Saat ini, global warming tak lagi sekedar isu semata, melainkan telah menjadi sebuah ancaman nyata yang mengkhawatirkan bagi penduduk bumi.
Dampak global warming berupa climate change (perubahan iklim) menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan berbagai mahkluk di planet bumi ini.
Malapetaka yang makin besar akan makin dirasakan, jika kita semua tidak punya kepedulian dan abai terhadap harmoni lingkungan dalam kehidupan ini.
Pada tulisan ini, kita hendak mengetengahkan satu pemikiran mengkaji dampak global warming serta saat ini Indonesia berada di fase global boiling. Tentunya sangat berdampak pada sektor ekonomi, pangan, kesehatan dsb.
Pemanasan global (global warming) merupakan isu global, karena tidak hanya dialami atau menimpa bangsa Indonesia saja, melainkan hampir seluruh warga bumi merasakan dampak yang ditimbulkannya.
Pemanasan global merupakan proses diserapnya panas matahari oleh lapisan atmosfer bumi yang sangat tipis, untuk kemudian dipantulkan kembali ke luar angkasa dalam bentuk sinar infra merah.
Terjebaknya radiasi sinar infra merah kedalam atmosfer bumi yang tipis tersebut menjadikan atmosfer semakin panas.
Pemanasan global dapat diartikan juga sebagai peningkatan rata-rata temperatur udara dan air di dekat permukaan tanah di planet bumi dalam tahun-tahun terakhir ini dan diperkirakan akan terus berlangsung atau berkelanjutan.
Secara terminologi, pemanasan global adalah suatu contoh spesifik dari istilah perubahan iklim yang lebih luas. Dapat juga mengacu pada pendinginan global.
Dalam penggunaan umum, istilah ini mendasarkan pada pemanasan umum dan mengimplikasikan pengaruh manusia. UNFCCC yang merupakan Forum Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB, menggunakan istilah perubahan iklim untuk perubahan yang disebabkan oleh manusia dan tingkat perubahan iklim, untuk perubahan-perubahan lainnya.
Meningkatnya pemanasan global sangat memprihatinkan masa depan bumi. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, akibatnya bisa sangat fatal: lapisan es di kutub akan mencair dan permukaan air laut akan naik.
Gelombang panaspun akan mengacaukan iklim dan menimbulkan badai dahsyat serta akan memporakporandakan bangunan di berbagai kota.
Masalah pemanasan global mulai diangkat ke permukaan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janerio, Brazil tahun 1992.
Sebelum diselenggarakan KTT tersebut, persoalan seputar pemanasan global seakan disepelekan, dan dianggap sebagai hal yang biasa terjadi dalam setiap kehidupan atau interaksi antar manusia.
Akan tetapi dengan berbagai penelitian atau riset dan ditandai dengan beragam tanda-tanda dan dampak, pemanasan global semakin mendapatkan perhatian secara internasional.
KTT terakhir tentang bumi yang diselenggarakan di kota Kyoto Jepang tahun 1997, semakin mematenkan dunia bahwa pemanasan global merupakan musuh utama umat manusia yang mendiami bumi, sehingga diperlukan upaya untuk mengatasi secara menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan.
Fase global boiling (perebusan global) adalah fase peningkatan status dari pemanasan global, di mana suhu permukaan bumi terus meningkat hingga di angka 1,2⁰C yang menyebabkan perubahan iklim, cuaca ekstrem, naiknya permukaan air laut hingga kekeringan parah.
Peningkatan kadar CO2 secara kontinyu merupakan salah satu aktor penyebab gas rumah kaca (GRK). Upaya menekan angka emisi GRK sepertinya masih mengalami kendala.
Pendidihan global, yang dikenal juga sebagai “Global Boiling,”menjadi satu fenomena yang bisa mengancam kehidupan masyarakat.
Fenomena Global Boiling merujuk pada peningkatan suhu rata-rata bumi secara signifikan akibat aktivitas manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh YouGov 30 Juli – 24 Agustus 2020, Indonesia berada di peringkat atas (21%), mengalahkan Amerika Serikat (19%) dan Arab Saudi (18%).
Dapat dipahami apabila masyarakat Indonesia yang notabene secara geografis hidup di kawasan yang dilewati garis khatulistiwa mengalami gejala tersebut.
Berbagai kejadian dan bencana hidrometeorologi yang disebabkan oleh perubahan iklim dianggap sesuatu yang lumrah atau masyarakat lebih memilih pasrah karena dianggap sebagai musibah.
Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di kawasan subtropis. Masyarakat yang tinggal di kawasan subtropis berkesempatan untuk mengalami 4 musim yaitu musim semi (spring), musim panas (summer), musim gugur (autumn), dan musim dingin (winter).
Masyarakat Indonesia yang hanya mengalami musim kemarau dan musim penghujan, tidak merasa mengalami perubahan yang ekstrim. Namun, dampak nyata yang seharusnya disadari masyarakat Indonesia dari adanya fenomena perubahan iklim, yaitu inflasi pangan.
Krisis Iklim Penyebab Inflasi Pangan
Perubahan iklim atau yang saat ini lebih dipertegas dengan istilah krisis iklim merupakan kondisi yang mengacu pada perubahan ekstrim jangka panjang terkait suhu dan pola cuaca.
Pada dasarnya perubahan ini dapat terjadi secara alami, tetapi sejak era revolusi industri abad ke-18, perubahan ini terjadi lebih cepat. Hal ini dikarenakan masifnyapenggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan gas rumah kaca (GRK) sejak saat itu.
Krisis iklim bagi Indonesia sesungguhnya dapat berdampak pada semua sektor, tetapi salah satu sektor yang paling terdampak dan mempengaruhi sektor lain yaitu sektor pertanian.
Sektor pertanian yang pada dasarnya sangat bergantung pada temperatur, ketersediaan air, curah hujan akan sangat terdampak akibat terjadinya krisis iklim.
Krisis iklim yang dapat mengakibatkan bencana hidrometeorologi seperti curah hujan ekstrim, angin kencang, banjir, kekeringan, hingga puting beliung. Perubahan pola musim dan bencana tersebut tentu saja mengancam terjadinya gagal panen di sektor pertanian.
Gagal panen menjadi salah satu momok yang paling ditakuti oleh para petani. Namun seharusnya, gagal panen juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat.
Pasalnya gagal panen ketika terjadi terus-menerus akan menurunkan suplai kebutuhan pangan. Sebagaimana konsep ekonomi yang dikenalkan doleh Alfred Marshal tentang elastisitas harga permintaan (price elasticity of demand).
Secara teori dalam model ekonomi supply and demand, orang akan membeli lebih sedikit barang yang mengalami kenaikan harga.
Namun menurut Marshall hal ini tidak akan terjadi pada barang elastisitas seperti obat-obatan dan makanan.
Pasalnya kedua hal tersebut merupakan barang yang penting untuk kehidupan sehari-hari konsumen.
Jadi ketika secara teori harga bahan pangan akan meningkat karena suplai sedikit akibat gagal panen, maka tidak lantas membuat masyarakat tidak membeli bahan pangan.
Tentu saja masyarakat akan tetap membeli bahan pangan tersebut untuk memenuhi kebutuhan sebagai makhluk hidup, yaitu makan.
Jadi, krisis iklim bukan sekedar membuat kita merasakan udara yang panas, tetapi juga dapat berdampak signifikan pada inflasi hingga pada kelaparan. (Penulis Wakil Sekretaris Umum Badko Hmi Sumatera Utara)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.