Oleh Tabrani Yunis
Ada sebuah ucapan yang masih segar dalam ingatan penulis, ketika Sekda Aceh saat itu masih di tangan Takwallah. Kala itu tanggal 26 Desember 2020, berlangsung acara video conference, yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Aceh, yang harus di Ikuti oleh semua guru di sekolah masing-masing. Dalam acara tersebut, Sekda Aceh saat itu berkata, bahwa Aceh membutuhkan resep pendidikan. Ya, resep jitu untuk meningkatkan kualitas pendidikan Aceh. Artinya, selama ini sakitnya pendidikan Aceh adalah karena belum menemukan resep yang jitu.
Ungkapan itu hingga kini tersimpan di memory penulis yang lenggelitik rasa ingin tahu (curiosity) penulis tentang resep itu, yang merupakan kebutuhan untuk menyembuhkan penyakit. Ya, karena dalam ungkapan itu adalah resep untuk peningkatan kualitas pendidikan Aceh, berarti resep itu menunjukkan bahwa pendidikan Aceh, tidak sedang baik-baik saja. Bisa jadi sebagai isyarat bahwa pendidikan Aceh sedang sakit parah. Benarkah demikian?
Bila kita menelusuri lorong-lorong sejarah Aceh dalam kaitannya dengan kondisi sakit, kita bisa membaca banyak catatan di lorong-lorong sejarah Aceh. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam sejarah pendidikan Aceh, bahkan nasional, pendidikan Aceh secara umum mengalami sakit yang tergolong akut, alias menahun. Sakitnya pendidikan Aceh sesuai dengan perkembangan zaman dan rezim. Penyakit di awal kemerdekaan hingga masa konflik konon didera oleh penyakit anggaran yang membuat kualitas sarana dan prasarana, kualitas guru yang serba kurang, tidak bergizi. Sehingga kondisi pendidikan Aceh saat itu lemah letoi.
Dalam keadaan lemah letoi, kesehatan kualitas pendidikan Aceh semakin memburuk. Betapa tidak? Sektor pendidikan yang menjadi kebutuhan dasar bagi rakyat, ikut diseret ke pusaran konflik. Lalu, ketika pendidikan terseret dan semakin jauh ke dalam, gangguan serius terhadap aktivitas pendidikan sangat mengganggu dan membuat proses pembelajaran terhenti. Banyak kasus Tindak kekerasan menghantam pendidikan Aceh yang sedang sakit tersebut. Setiap hari, kala itu kita mendengat dan membaca tentang pembakaran sekolah.
Komparatif.ID, edisi 12/01/23 memaparkan bahwa sekolah dibakar merupakan pemandangan sehari-hari di Aceh sepanjang tahun 1992 hingga 2003. Bahkan beberapa sekolah justru dibakar oleh alumnusnya sendiri yang memilih ikut gerilyawan yang melawan pemerintah.
Menurut data Dinas Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) selama rentang masa 1992 hingga 2003, jumlah sekolah dibakar di Serambi Mekkah 1.158 unit, terdiri dari SD, SMP, dan SMA/sederajat. Kepala Dinas Pendidikan NAD Drs. Anas M. Adam, Senin (14/6/2004) mengatakan 611 unit di antaranya sekolah dibakar oleh pelaku konflik pada masa Darurat Militer.
Nah, sakitnya pendidikan Aceh bukan saja karena diberangusnya ribuan sekolah, tetapi eksodusnya ratusan guru ke luar Aceh dan bahkan banyak guru yang terbunuh di masa konflik itu.
Detik.com, edisi 2 Mai 2004 mengirim penjelasan Plt Dinas Pendidikan Aceh saat itu, Drs. M. Anas Adam bahwa sejak konflik bersenjata kembali memanas pada tahun 1999, tercatat tidak kurang dari 170 guru menjadi korban kekerasan anggota GAM, 50 diantaranya meninggal.Lebih lanjut dikatakannya, selain tewas, guru yang menjadi korban kekerasan itu ada yang mengalami cacat ringan, cacat seumur hidup, atau diculik. Cukup parah sakitnya pendidikan Aceh bukan?
Tentu sakitnya pendidikan Aceh hanya itu, karena sesungguhnya proses belajar mengajar yang menjadi jiwanya pendidikan, mengalami kelumpuhan berat. Kondisi ini menambah kondisi kesehatan pendidikan Aceh secara umum menjadi kronis, karena dalam masa yang cukup panjang dan dengan intensitàs tinggi.
Belum lagi penyakit kronis itu sempat diobati, bencana alam, gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 menambah luka pendidikan Aceh semakin berat. Banyak sekolah dan fasilitas pendidikan hancur digulung tsunami. Banyak siswa yang kehilangan jiwa dan begitu pula para guru yang hilang diteken tsunami. Ya, begitu parahnya kondisi kesehatan pendidikan Aceh saat itu.
Rupanya, nasib buruk pendidikan Aceh tidak hanya didera oleh penyakit yang begitu komplikatif, bencana penyakit berupa virus Corona yang menjadi pandemi COVID 19 yang melanda dunia, ikut menambah parah sakitnya pendidikan Aceh.
Nah, dalam kondisi sakit berat seperti ini, Pemerintah pusat dan khususnya Pemerintah Aceh harus memberikan perhatian extra untuk menyembuhkan pendidikan Aceh. Kebutuhan pendidikan Aceh, bukan saja berupa resep-resep yang jitu, tetapi juga harus ditangani oleh dokter specialis yang benar-benar dahan, atau mengerti dan memiliki kapasitas strategi penyembuhan dan pemulihan hingga pendidikan Aceh tidak merana didera penyakit kronis atau menarik itu. Dinas Pendidikan Aceh sebagai sebuah Dinas yang mendapat mandar dan tugas, membangun pendidikan Aceh yang sehat dan kuat, harus mampu memulihkan penyakit yang bersarang di tumbuh pendidikan Aceh. Andai kita bertanya, apakah Pemerintah Aceh selama ini tidak berupaya Menfi sto sakitnya pendidikan Aceh?
Jawabnya tentu sudah banyak yang dilakukan. Misalnya dengan menempatkan Sektor pendidikan sebagai sektor penting dan mendapat prioritas dan disokong dengan anggaran yang besar. Bahkan juga telah menempatkan Kepala Dinas Pendidikan Aceh dari kalangan ahli pendidikan, namun penyakit komplikasi yang diderita oleh pendidikan Aceh semakin sulit diobati. Apalagi karena kepentingan politik penguasa di Aceh yang menyeret sektor pendidikan dan pelaku pendidikan ke pusaran politik praktis penguasa, menempatkan dokter umum yang tidak dahan sakitnya pendidikan Aceh mengurus pendidikan Aceh yang sakit, akibat buruknya adalah penyakit pendidikan Aceh hingga kini tidak ada tanda-tanda sembuh. Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab?
Penulis adalah pengamat Pendidikan, Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.