Presensi Buku : Abdul Hakim Siregar
Jabatan : Kepala MAN IC Tapanuli Selatan
Judul Buku : Asketisme Intelektual Refleksi tentang Pendidikan Madrasah dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
Penulis : Prof Dr H. Moh. Isom, MA.
Penerbit : Moeka Publishing
ISBN : 978-602-269-579-0
Halaman : 236
Tahun : Mei 2023
Prof Dr H. Moh. Isom, MA. (selanjutnya, disebut; Prof Isom) dalam bukunya yang diresensi ini menyebut dalam 20 tahun terakhir marak eksodus besar-besaran para akademisi dengan gelar doktor (Dr.) hingga professor (Prof.) berimigrasi ke ruang birokrasi dan korporasi. Dalam waktu yang bersamaan terjadi pula, kiai, ulama, dan ustaz yang terjun ke dunia politik praktis, menjadi DPR atau pejabat daerah hingga pusat.
Ketika para intelektual dan ulama itu merayap keluar masuk dari ruang sakral akademik dan bilik pesantren lalu mengabdikan diri pada uang, jabatan, dan kedudukan popular. Masihkah dedikasi lentera keilmuan-ulama dan cakrawala wawasan keilmuan masih dapat dipertahankan? Apakah masih kuat atau di manakah integritas akademik-ulama berhadapan dengan pemodal dan politisi penguasa? Siapa lagi yang berjuang membangun karakter bangsa yang berdaya saing dengan peradaban bangsa lain?
Sejatinya hal tersebut, manusiawi (tidaklah menjadi dosa atau haram) dan bahkan menjadi ibadah manakalah akademisi dan ulama memasuki alam birokrasi untuk memperbaiki iklim demokrasi hingga membenahi dunia korporasi.
Namun, jika sebaliknya, kaum intelektual dan ulama terperangkap kelam dan kejamnya birokrasi-politik dan flexing hedonis, dan gila popularitas, dunia pendidikan pun ikut terseret di dalamnya.
Banyak perguruan tinggi, ma’had Aly, pesantren, madrasah, dan Lembaga pendidikan di Indonesia hanya pengimpor ilmu, follower teori ilmuwan lain. Lebih tragis lagi, hanya penikmat hasil invensi bangsa lain secara komsumtif. Kalau demikian, di manakah benteng terakhir asketisme intelektual-ulama sebagai kekuatan civil society, pembangun karakter dan penjaga peradaban pertiwi?
Relasi keilmuan dan kekuasaan tentunya berkelindan saling mempengaruhi, tidak harus dihadapkan sedemikian rupa secara diametral. Tapi, lebih sebagai integrasi-kolaborasi untuk memajukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan, kedamaian, dan kemakmuran. Tentunya, dilakukan secara konstitusional.
Artinya, secara keilmuan akademisi dan ulama, setiap orang dapat mengembangkan atau menemukan hal baru yang bebas dari intervensi kekuasaan birokratis demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada bagian lain, akademi dan ulama, bukan sekedar melontarkan kritik tajam, tanpa solusi. Seakan anti-pemerintah dan birokrasi berarti paling “jujur?” Paling tidak dianggap suka, “menjilat” dengan konotasi negatif. Padahal, masuk birokrasi juga dapat menyumbangkan kontribusi positif untuk masyarakat dan umat.
Dalam bukunya ini, Prof Isom mencontohkan banyak hal terkait dengan Pendidikan madrasah dan perguruan tinggi. Buku yang pada daftar isinya, dibagi dalam dua bagian utama. Pertama, menyangkut, “Refleksi tentang Pendidikan Madrasah,” dan bagian kedua, “Refleksi tentang Perguruan Tinggi.” Anggaplah, kata Prof. Isom dalam bukunya itu, sebagai bunga rampai (kumpulan tulisan) dari perjalanan karier dosen sebagai akademisi hingga birokrat yang memangku berbagai jabatan di Kementerian Agama RI.
Sebagai akademisi, Prof Isom menjadi guru Bahasa Arab hingga menjadi dosen, seperti di IAIN Sunan Ampel, IAIN Ternate, IAIN Jember, UIN Ar-Raniry, Universitas Sunan Giri, APJati Jakarta, STAINU Jakarta, dan STAI Al-Hikmah Jakarta.
Lalu, sebagai birokrat, Prof Isom pernah menjabat Seksi Kasi Kurikulum Subdit Pendidikan Diniyah Direktorat PD Pontren Kementerian Agama RI, Kepala Seksi Penelitian Subdit Penelitian, Publikasi dan Pengabdian pada Masyarakat Direktorat Perguruan Tinggi, Kepala Sub Direktorat Ketenagaan PT, Sekretaris Ditjen Pendis, Sekretaris Badan Litbang, dan Direktur KSKK Kemenag RI.
Oleh karena itu, sebagaimana dalam pengantar buku ini, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, Prof Isom layak dan tepat menuangkan gagasan dan pemikirannya terkait pendidikan, baik akademisi maupun birokrasi.
Apalagi menurut petikan slogan Prof Isom, “Pena kebanyakan memiliki pengaruh, sedangkan bicara kebanyakan menguap begitu saja.” Meskipun kini jamak berkembang berbagai alat dan aplikasi perekam pembicaraan dan pidato, tulisan masih berpengaruh luas dan abadi. Sebagai satu legacy, warisan bagi pengkaji pendidikan madrasah.
Saya sebagai peresensi buku ini ingin mencontohkan dua kisah menarik dalam buku ini.
Kisah pertama, Prof Isom menyebut seorang teman berkeluh kesah padanya, teman Prof Isom ini bercerita bahwa dirinya mendapati tekanan atasannya. Padahal menurutnya, ia bekerja dengan sangat baik dan berprestasi dan temannya itu tidak ingin ditekan apalagi diatur-atur. Katakanlah kasus ini, kisah seorang akademisi/ulama berhadapan dengan birokrat.
Atas dasar kisah itu, Prof Isom terpikir membuat slogan atau tagline Pendidikan madrasah menjadi, sesaat dirinya dilantik menjadi direktur KSKK: “Mandiri Berprestasi.” Mandiri yang dimaksuf Prof Isom ialah mandiri belajar, hidup, berpikir, berpendapat, berkreasi, berinovasi, dan percaya diri (confidence). Lalu, “Berprestasi” maksudnya adalah berprestasi dalam belajar, hidup, berkarya, berinovasi, akademik, afektif/karakter, psikomotorik/skill/keterampilan, dan kebaikan.
Lihat betapa refleksi Prof Isom dari cerita temannya dapat menjadi inspirasi atau ilham untuk membuat slogan madrasah menjadi: Mandiri Berprestasi. Sisi akademiknya berupaya diterapkan dalam dunia birokrasi atau praktis. Itu di antara yang selalu mau dikerjakannya untuk pendidikan.
Cerita kedua, Kepala MAN Keeroom, Papua menceritakan ke Pak Prof Isom, di MAN tersebut terdapat peserta didik yang beragama Kristen, Katolik, dan Hindu. Ini satu contoh toleransi madrasah yang mungkin bagi banyak kita masih agak langka. Tapi ke depannya perlu dimasyhurkan demi kemajuan bangsa Indonesia, untuk memastikan semua insan Indonesia dapat memperoleh pendidikan demi kemajuan bersama.
Masih banyak hikmah yang dapat dipetik dari buku Prof Isom ini, sehingga layak dibaca oleh insan madrasah dan umumnya peminat Pendidikan. Tentu saja yang tidak luput dalam buku ini betapa pentingnya transformasi, digititalisasi, dan globalisasi Pendidikan.
Oleh karena itu, saya meminjam petuah Paulo Freire dari Brazil, katanya banyak hal yang meliputi pendidikan itu, nuansa politik, birokrat, dan budaya. Orang yang beranggapan Pendidikan dapat ditangani secara supranatural berarti tahap berpikir magic. Kemudian, kalau ada orang yang cenderung menyalahkan individual dan personal akibat masalah sosial, itu dinamakan Paulo Freire tahap berpikir, “naif?” Dan terakhir, orang yang memahami persoalan Pendidikan melingkupi banyak aspek, berbagai segi, itulah namanya tahap berpikir kritis?
Jadi, dalam buku ini, pembaca akan mendapatkan berbagai aspek yang meliputi Pendidikan, sehingga dengan berpikir reflektif disertai sikap kritis yang husnuz zan, kita dapat menemukan solusi atau pengembangan pendidikan madrasah, kini dan mendatang.
Peresensi adalah Kepala MAN Insan Cendekia Tapanuli Selatan, 2022-sekarang.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.