Oleh : Mulyadi Nasution, S.Pd.I
Politik identitas merupakan konsep baru dalam kajian ilmu politik. Politik identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan. Biopolitik mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan tubuh.
Dalam filsafat, sebenarnya wacana ini sudah lama muncul, namun penerapannya dalam kajian ilmu politik mengemuka setelah disimposiumkan pada suatu pertemuan Internasional Asosiasi Ilmuan Politik Internasional di Wina pada 1994. Pertemuan tersebut menghasilkan konsepsi tentang dasar-dasar praktek politik identitas dan menjadikannya sebagai kajian dalam bidang ilmu politik.
Politik identitas di Indonesia menjadi penting untuk dikaji sebagai upaya menarik benang merah dari perbedaan yang ada sehingga stabilitas politik tetap terjaga. Sebagai negara yang dilatarbelakangi oleh berbagai keanekaragaman, Indonesia telah membuktikan dari zaman kemerdekaan hingga saat ini kesatuan dapat dipelihara. Penggabungan kedalam kelompok atau golongan tertentu ini tentu tidak terlepas dari adanya rasa persamaan yang didasari oleh sebuah identitas. Identitas atau jati diri ini terdapat dalam berbagai bentuk dan jenis seperti identitas gender, agama, suku, bahasa,profesi, dll. Sehingga perkumpulan yang didasarkan pada satu kesamaan identitas akan membentuk sebuah kelompok identitas tertentu.
Politik identitas sendiri merupakan penjabaran dari identitas politik yang dianut oleh warga negara berkaitan dengan arah politiknya. Politik identitas lahir dari sebuah kelompok sosial yang merasa terintimidasi dan terdiskriminasi oleh dominasi negara dan pemerintah dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar lahirnya politik identitas dalam persoalan kenegaraan.
Kemunculan politik identitas dalam dinamika politik yang sangat beragam di Indonesia tentu tidak terlepas dari adanya rasa ketidakadilan dan persamaan hak yang diklaim oleh masing-masing kelompok atau golongan sosial tertentu. Selain itu, perbedaan yang menjadi tolak ukur utama dari keberagaman yang ada di Indonesia menjadikan politik identitas di Indonesia semakin mempertegas perbedaan tersebut. Akhirnya pembiaran terhadap konflik yang dilatarbelakangi oleh politik identitas yang beragam akan menciptakan ketidakstabilan dalam bernegara.
Kajian demokrasi politik secara jelas membedakan antara identitas politik (political identity) dengan politik identitas (political of identity). Political identity diartikan sebagai konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas demokrasi politik. Sedangkan political of identity merupakan mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik. Kajian mengenai politik identitas meliputi dua kategori identitas yang diakui yaitu identitas sosial dan identitas agama sebagai subjeknya.
Identitas sosial meliputi identitas keagamaan, kelas, ras, etnis, gender dan seksualitas, di mana identitas sosial menentukan posisi individu di dalam relasi atau interaksi sosialnya. Sedangkan identitas politik meliputi nasionalitas dan kewarganegaraan, di mana identitas politik ini menentukan posisi individu di dalam sebuah komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain dalam suatu pembedaan (sense of otherness).
Pemaknaan politik identitas sebagai alat politik diungkapkan oleh Kemala Chandakirana yang menyatakan bahwa politik identitas digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan). Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik identitas hanyalah alat yang digunakan penguasa untuk memanipulasi, menggalang kekuatan dalam memperteguh kekuasaan bagi pemenuhan kepentingan ekonomi dan politiknya. Hal tersebut tidak lain merupakan suatu kecenderungan yang mutlak bagi pemimpin yang berkuasa.
Identitas dapat dikendalikan atau dipolitisasi oleh orang-orang yang memiliki tujuan untuk mendapatkan dukungan dari kelompok- kelompok atau individu-individu yang merasa sama, baik secara agama, RAS, budaya, etnis atau kesamaan lainnya. Politik identitas memiliki fokus pada permasalahan yang terkait dengan perbedaan-perbedaan yang tertuju pada fisik tubuh, pertentangan agama, etnisitas, budaya, ataupun bahasa yang digunakan. Politik identitas lahir karena adanya kepentingan minoritas yang termarjinalkan. Maka dari itu, politik identitas hadir sebagai wadah aspirasi bagi yang mereka yang merasa tertindas dan terkriminalisasi.
Indonesia memiliki jumlah pulau lebih dari 17.000, bahasa lokalnya yang ratusan, bahkan seperti papua saja tidak kurang dari 252 suku dengan bahasa khasnya masingmasing. Oleh karena itu, politik identitas yang selalu mencuat permukaan sejarah modern Indonesia harus dikendalikan dan diawasi secara bijak oleh pemikiran historis yang dipahami secara tepat dan cerdas.
Politik identitas terlebih lagi dalam hal agama memang tidak pernah hilang dalam dunia politik di Indonesia ini. Pada ajang pemilihan Gubernur Jakarta pada tahun 2017 yang lalu adalah contoh nyata sebagai bukti pernyataan tersebut. Pada saat itu beredar sebuah isu dimasyarakat yang menjadi sorotan masyarakat DKI Jakarta bahkan seluruh masyarakat Indonesia, yaitu ucapan salah satu calon gubernur yang mengatakan “Kita telah dibohongi oleh surat al-ma’idah ayat 51” yang kemudian menyulut amarah ummat Islam sehingga namanya menjadi buruk dimata orang islam. Ini merupakan salah satu kasus yang terkait dengan politik identitas, yang bisa disimpulkan bahwa seseorang bisa menarik perhatian identitas lain agar mendapat dukungan, namun jika seseorang tersebut dianggap salah ketika ingin mendapatkan dukungan, justru ini sebaliknya bisa menjadi petaka baginya. Banyak kalangan kemudian menarik kesimpulan bahwa Indonesia sedang mengalami potensi konflik baru yakni antara negara dan agama, utamanya jika berkaca pada tingginya tensi politik pada pemilihan gubernur Jakarta tersebut.
Politik identitas ternyata tidak hanya terjadi pada pilgub DKI Jakarta saja, pada pemilihan presiden 2019 juga terjadi hal serupa. Pada saat itu Jokowi telah mengambil keputusan untuk memilih Ma’ruf Amin sebagai wakilnya di pilpres 2019. Jokowi mengatakan bahwa dirinya sudah mendapatkan persetujuan dan masukan dari berbagai elemen masyarakat, seperti para ulama, ketua umum partai, pengurus partai, dan relawannya. Alasan Jokowi memilih Maruf Amin karena Maruf Amin dianggap sebagai agamawan yang bijaksana, selain itu juga pengalaman Ma’ruf Amin di pemerintahan. Dari alasan Jokowi tersebut sangat jelas dan dapat disimpulkan bahwa agama memang yang akan menjadi senjata dan peredam politik identitas yang mungkin akan dilakukan oleh lawan poltik dengan mempertimbangkan kemungkinan kemungkinan.
Menatap Pemilu serentak 2024 tahun mendatang, pemilihan Presiden ( Pilpres) pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, serta pemilihan kepala daerah dilaksanan secara serentak berbagai kalangan menilai bahwa Pilpres tentu akan lebih banyak menjadi isu yang menarik perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia dari pada Pemilu Legislatif. Proses kampanye Pilpres juga dipandang akan mengalami dinamika terjadi saling menyerang kelemahan masing- masing calon Presiden oleh para pendukungnya masing- masing yang dikhawatirkan akan menggunakan isu-isu propokatif dan identitas agama, suku dll. Berbagai kalangan menyebutkan bahwa populisme dengan politik identitas sangat kuat pengaruhnya dalam kampanye di tahun 2024 mendatang, dimana hal itu dinilai akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Atas dasar itu, penulis menganalisa bahaya dan ancaman populisme dalam penyelenggaraan Pilpres 2024 mendatang. Hal ini besar kemungkinan akan menjadi faktor yang membuat indeks demokrasi Indonesia akan semakin menurun. Ini dipandang akan menjadi catatan buruk bagi proses demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, masalah dalam tulisan ini terkait pertanyaan apa bahaya populisme dalam penyelenggaraan Pilpres 2024 terhadap Politik Identitas. Bila seandainya nanti indeks demokrasi Indonesia semakin menurun, maka demokratisasi di Indonesia akan menjadi kurang baik di mata dunia internasional.
Saat ini ancaman terhadap keutuhan bangsa semakin mengkhawatirkan jika politik identitas yang mengedepankan identitas agama, suku, entitas dan bahasa menjadi semakin mengental. Bangsa ini tidak hanya terhenti pada ancaman politik identitas semata tetapi pada hal-hal yang dapat membuka ruang perpecahan persatuan dan kesatuan bangsa yang sangat majemuk dan beragam ini. Bukankah saat ini ada kelompok-kelompok yang mulai mempersoalkan ideologi bangsa. jika pada Pemilu 2024 nanti muncul pihak-pihak yang mempersoalkan ideologi negara.
Melihat fenomena-fenomena di atas, penulis mengamati proses pelaksanaan Pilpres 2019 yang lalu dari sudut pandang populisme yang didasari strategi politik identitas menjadi menarik untuk dikaji, diicermati mengingat indonesia adalah Negara yang penduduknya sangat majemuk, terdiri dari berbagai suku, agama dan ras, yang terikat dengan Dasar Negara Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilar kebangsaan. Sebab benturan yang bernuansa Politik Identitas tidak hanya mempermalukan para elit politik, penguasa tetapi juga para cendekiawan-ilmuwan yang selama ini merasa optimis bahwa agama, ras dan suku bangsa akan segera hilang kekuatannya karena sudah mengalami pencerahan dan kemajuan dengan doktrinisasi nilai nilai Pancasila.
Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda menyebutkan beberapa langkah Bawaslu dalam mencegah penyebaran politik identitas dan isu mengenai suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Dirinya pun menegaskan maraknya politik identitas dengan isu SARA tersebut muncul akibat beberapa factor yang beberapa di antaranya akibat belum tuntasnya toleransi, adanya ketimpangan sosial ekonomi, dan adanya rekayasa elite politik.
Dia menyebutkan langkah antisipasi pertama yang dilakukan Bawaslu dengan menjalin kerja sama dengan platform media sosial dan kementerian dan lembaga negara terkait. Kedua, lanjut dia, melakukan pendekatan ke kelompok atau komunitas hingga paling bawah guna mencegah adanya kampanye yang menggunakan isu SARA dan politik identitas.
Bentuk penindakan Bawaslu terkait kampanye bermuatan politik identitas, kata Herwyn dengan menurunkannya dari media sosial (take down) agar berita tersebut tidak tersebar. “Kita akan melakukan kerja sama dengan platform seperti Facebook (Meta), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan lainnya untuk mengantisipasi dan mengatur kalau ada hal-hal (ptensi) yang merusak sendi-sendi persaudaraan di media sosial. Hal itu dilakukan agar informasi tersebut tidak menyebar,” ujarnya.
Menurut hemat penulis, Komitmen kebangsaan dalam kebhinnekaan dan semangat moderasi beragama dari seluruh elemen masyarakat Indonesia memang merupakan hal yang sangat penting untuk terus dijaga. Hal tersebut juga akan mampu melawan adanya praktik politik identitas yang sangat merusak pesta demokrasi pada gelaran Pemilu 2024 mendatang. Oleh karena itu, menurutnya konsep dan strategi untuk bisa terus mengimplementasikan penguatan moderasi beragama menjadi sebuah hal yang sangat penting, utamanya menjelang pesta demokrasi Pemilu 2024 sebagai upaya untuk bisa menangkal tumbuh suburnya praktik politik identitas.
Bahwa sebenarnya dari segi hukum formal sendiri, penguatan moderasi beragama telah memiliki landasan hukum yang kuat, karena dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menetapkan adanya kewajiban bagi negara untuk bisa menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama hingga kepercayaan masing-masing.
Bukan hanya telah terkandung dalam UUD 1945 saja, namun perlindungan hukum terhadap adanya kebebasan beragama juga bahkan telah secara khusus disebutkan dalam Undang-Undang (UU) Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor 39 Tahun 1999. Adanya penguatan moderasi beragama, utamanya menjelang adanya Pemilu 2024 menjadi sangat penting bahkan tidak hanya untuk bisa mencegah politik identitas saja, namun juga mampu mengarahkan arah politik negara ini.
Di sisi lain, masyarakat Tanah Air memang sangat religius dan bahkan kesehariannya sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai agama. Maka dari itu, justru menjadi tantangan tersendiri karena akan mudah dipecah belah. Sehingga, komitmen kebangsaan dan semangat moderasi beragama harus benar-benar terus ditegakkan untuk mampu melawan adanya praktik politik identitas
Akhirnya, untuk memenangi pertaruhan politik ini dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa diperlukan pemikiran dan langkah-langkah yang jauh lebih strategis dari negara untuk mengelola keragaman bangsa, pluralisme, dan menata kembali hubungan dinamis antara Islam dan Pancasila melalui penguatan ideologi negara dan menggelorakan kembali jiwa serta semangat nasionalisme secara lebih kreatif dan efektif. Oleh karena itu, pentingnya peran negara. Bukan hanya sekadar menghadirkan negara, tapi harus mampu menjalankan fungsi- fungsi secara aktif dalam menjaga dan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Penyalahgunaan praktik Politik Identitas yang cenderung dibiarkan, merupakan bukti kalau negara tidak berdaya bahkan hampir “kalah” dalam menjalankan fungsinya secara optimal untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga pilihan kita tepat, yaitu dengan menjadikan Politik Identitas sebagai “madu” bukan sebagai “racun” dalam membangun demokrasi Pancasila demi keutuhan dan kejayaan republik ini yaitu NKRI.
Upaya dalam menghilangkan praktik politik identitas tentu akan menjadi salah satu PR penting bagi Indonesia menjelang Pemilu 2024 mendatang. Hal ini menjadi penting, terlebih karena berhubungan erat dengan kesetaraan hak, persatuan dan kesatuan masyarakat, serta prinsip-prinsip demokrasi. Apalagi, masalah SARA merupakan hal yang lumayan sensitif untuk dijadikan alat kampanye.
Sebagai negara dengan kultur yang beragam dan demmokratis, sudah sepatutnya semua masyarakat memiliki kesetaraan hak dalam Pemilu. Tidak hanya orang Jawa yang bisa menjadi pemimpin negara, orang luar jawa juga seharusnya bisa dan berhak untuk terlibat dalam kontestasi Pemilu. Tidak mudah menghilangkan politik identitas di Indonesia, sehingga peran serta pemerintah dan stakeholder bangsa, penyelenggara pemilu, kaum intelektual, tokoh ormas dan lainnya perlu memberikan pemahaman kepada para masyarakat luas , generasi muda untuk berhati-hati terhadap segala manuver politis yang menonjolkan identitas demi meraup suara rakyat semata. Harapan semoga dalam pengambilan keputusan dan penentuan pilihan selalu mengedepankan substansi objektif sehingga tercapai tujuan nasional berbangsa dan bernegara yang sesungguhnya.
Penulis adalah wiraswasta dan pengurus Komite Pemilih Indonesi (TePI) Sekretariat Provinsi Sumatera Utara 2022-2024, Pokja Informasi dan Media
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.