Pancasila Filsafat Bangsa

  • Bagikan
Pancasila Filsafat Bangsa

Oleh M Ridwan Lubis

Manakala prinsip di atas telah menjadi sikap serta tekad bersama, maka dapat menghilangkan kekhawatiran terjadinya diskriminasi baik sesama rakyat maupun negara karena bangsa ini secara tegas telah menetapkan cita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Persatuan seluruh bangsa adalah merupakan kata kunci menuju kelangsungan kehidupan kita sebagai sebuah bangsa. Maka dalam rangka menuju kepada persatuan itu maka yang paling utama adalah mencari titik pertemuan di antara sekian banyak faktor pembeda dalam kehidupan berbangsa. Tanpa adanya persatuan yang kokoh, maka potensi kemiskinan yang sudah mengendap dalam kehidupan berbangsa akan muncul ke permukaan yang kemudian akan menghidupkan suasana saling memperlebar jarak antar sesama warga.

Suasana kehidupan yang saling mengambil jarak pada awalnya terletak pada bentuk keyakinan yang dianut masing-masing. Jarak hubungan yang berkeyakinan bukan hanya terjadi antarorang yang berbeda agama tetapi juga terbuka kemungkinan bisa terjadi di antara orang yang menganut simbol agama yang sama namun berbeda aliran atau mazhab pemikiran.

Adanya perbedaan aliran keyakinan yang dianut masing-masing tanpa dilandasi keinginan dalam semangat persatuan akan mendorong masing-masing merasa memonopoli kebenaran terhadap aliran atau mazhabnya sendiri. Padahal kebenaran absolut ajaran sebuah keyakinan hanya berada dalam relung hati yang paling dalam. Sementara aktualisasinya dapat mengalami perbedaan akibat terjadinya rasionalisasi terhadap hakikat dan inti dari sebuah keyakinan.

Dalam kondisi demikian, semestinya terbuka ruang kebebasan mengembangkan pemikiran sesuai dengan yang dianut oleh masing-masing mazhab. Karena melalui kebebasan mengembangkan improvisasi pemikiran terbuka peluang kemungkinan terhadap perluasan implementasi ajaran sebuah keyakinan terhadap berbagai format kehidupan.

Demikianlah sekilas makna ijtihad yang terdapat dalam pengembangan sebuah keyakinan. Apabila setiap warga masyarakat tidak membuka ruang kompromi antar sesamanya maka tentu akan menimbulkan sikap yang saling memutlakkan pendapat. Pada saat itulah terbuka ruang yang menjurus perselisihan antar warga masyarakat yang akhirnya mengancam kelangsungan kehidupan kita sebagai sebuah bangsa. Pertentangan antar keyakinan dapat menimbulkan suasana saling masyarakat yang mencurigai karena masing-masing berangkat dari prinsip kesucian dan kebenaran terhadap ajaran yang dianutnya.

Terbangunnya persatuan sosial dalam menganut agama yang disebut kerukunan diharapkan akan melahirkan dua sikap yang saling mendukung yaitu (1) meyakini secara absolut keyakinan yang dianutnya dan tidak membuka diri mencari kebenaran yang lain (2) mengakui, menghargai dan mendukung keberadaan saudaranya penganut agama yang lain dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dan apabila mungkin ikut menikmati suasana kesyahduan ketika saudaranya memahami, mengamalkan ajaran agamanya. Semangat keberagamaan yang demikian akan membawa dampak tumbuhnya suasana kehidupan berdasarkan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab.

Manusia sebagai ciptaan Tuhan bukanlah sekedar ciptaan seperti makhlkuk lainnya akan tetapi manusia dibekali potensi kehidupan yaitu akal yang berfungsi memilah antara yang benar dan salah melalui pertimbangan alur logika yang kemudian terbentuk ketertiban sosial.

Selain dari itu, manusia dalam perjalanan hidupnya juga dibekali budaya yaitu acuan untuk memilah antara yang patut dengan tidak patut dan antara yang baik dengan buruk. Panduan dalam penetapan baik dan buruk bukan hanya karena pertimbangan personal akan tetapi didukung nilai universal yang disebut budaya atau budi pekerti.

Melalui budi pekerti inilah seorang makhluk yang bernama manusia bukan hanya mementingkan kepentingan egonya akan tetapi selalu bercita-cita menuju kepada derajat kemanusiaan yang adil dan beradab. Apabila setiap insan memiliki kesepakatan terhadap betapa pentingnya kemanusiaan yang adil dan beradab maka tentunya ia bukan hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri akan tetapi juga membangun keseimbangan yang disebut adil antara kepentingan dirinya maupun orang lain.

Prinsip keadilan secara filsofis adalah kemampuan untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya yang terhomat. Atas dasar itu, setiap warga bangsa tidak hanya mengambil kesimpulan berdasarkan nalarnya sendiri akan tetapi juga berusaha menuju terbentuknya nalar yang menuju kesepakatan bersama. Pada saat itu, makhluk yang bernama manusia tidak hanya hidup atas pertimbangan untuk menghidupi dirinya sendiri akan tetapi juga menjaga kelangsungan kehidupan seluruh umat manusia sebagai makhluk Tuhan. Peran yang demikian disebut khalifah. Dalam proses merumuskan implementasi khalifah manusia dibekali tanggung jawab pribadi maupun sosial yang disebut mas-uliah. Dalam pada itulah terbentuk ketertiban sosial.

Melalui format ketertiban sosial, akan dihasilkan tatanan kehidupan berbangsa yang tidak ternilai harganya yaitu persatuan Indonesia. Harus diakui bangsa Indonesia memiliki unsur kemajemukan yang berkembang dalam lokasi geografis yang terdiri ribuan pulau yang memiliki berbagai tradisi yang berbeda. Perbedaan kultur itu kemudian membentuk peta regionalisasi wilayah. Apabila suasana kemajemukan budaya tidak diikat kesadaran perlunya persatuan maka masing-masing berpikir secara ego-sentris yang berakibat melemahnya solidaritas antara satu kelompok budaya dengan lainnya.

Kuatnya semangat persatuan tentunya tidak tergantung semata-mata kepada seorang pemimpin sekalipun telah dijadikan acuan model oleh warganya. Dalam upaya membina semangat persatuan, setiap kesepakatan berbangsa selalu didasarkan cara pandang bahwa semua warga bangsa, mayoritas atau minoritas, memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap negara. Demikian pula negara, memiliki jarak yang sama terhadap semua anak bangsanya.

Demikianlah, manakala prinsip di atas telah menjadi sikap serta tekad bersama, maka dapat menghilangkan adanya kekhawatiran terjadinya diskriminasi baik sesama rakyat maupun negara karena bangsa ini secara tegas telah menetapkan cita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikianlah sekilas renungan kita menjelang memperingati Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 yang lalu. Kilasan sejarah 78 tahun yang lalu perlu selalu disegarkan agar setiap komunitas bangsa Indonesia dari Merauke sampai Sabang memiliki komitmen yang sama terhadap masa depan Indonesia berdasarkan filosofi dan pandangan hidup Pancasila.

Dengan demikian, warga yang semakin kuat keberagamaannya akan semakin kuat pula komitmennya kepada pembangunan masa depan bangsanya. Dan, warga yang semakin kuat komitmen kebangsaannya, akan semakin kuat komitmennya terhadap nilai-nilai keberagamaan yang dianutnya.

Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Pancasila Filsafat Bangsa

Pancasila Filsafat Bangsa

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *