Kekuatan Identitas

  • Bagikan
Kekuatan Identitas

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Disadari atau tidak, perubahan demografi dan migrasi kerap memicu perasaan keterancaman identitas dalam masyarakat. Ketika masyarakat dihadapkan pada arus migrasi yang signifikan atau pertumbuhan populasi kelompok tertentu, tak terhindari timbulnya perasaan ancaman terhadap identitas

Menggali dan menganalisis peran identitas pada era informasi yang terus berkembang dan bagaimana identitas itu mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi oleh informasi yang terhubung secara global terasa sangat diperlukan saat ini.

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah lanskap ekonomi, masyarakat, dan budaya. Identitas individu dan kelompok terbentuk, bertransformasi, dan dipertahankan dalam konteks informasi yang cepat dan yang berlangsung dalam keterhubungan kontinum dalam membentuk perekonomian, pola interaksi sosial, pembentukan komunitas, dan ekspresi budaya (Manuel Castells, 2009, The Power of Identity: The Information Age: Economy, Society, and Culture).

Identitas adalah konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh interaksi sosial dan proses sosialisasi yang membentuk persepsi dan pemahaman setiap orang tentang dunia (Peter L. Berger & Thomas Luckmann, 1967, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge). Identitas individu dan kelompok tidaklah selalu inheren atau terdeterminasi secara biologis, melainkan dibentuk melalui interaksi sosial, budaya, dan konteks historis. Identitas tidak semata bawaan atau sifat yang melekat dalam diri, melainkan produk dari proses sosial yang kompleks (Judith Butler, 1989, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity; Benedict Anderson, 2016, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism).

Tak ada keraguan bahwa identitas memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk perekonomian, baik pada tingkat individu maupun kolektif. Grant McCracken (Culture and Consumption: New Approaches to the Symbolic Character of Consumer Goods and Activities, 1990), telah membahas bagaimana identitas etnis, agama, dan budaya mempengaruhi preferensi konsumen.

Menggabungkan ekonomi dengan identitas, George A. Akerlof & Rachel E. Kranton (Identity Economics: How Our Identities Shape Our Work, Wages, and Well-Being, 2011) menunjukkan bahwa selain mempengaruhi perilaku dan ketimpangan ekonomi, identitas individu dan kelompok tak hanya menentukan pilihan konsumsi, tetapi juga preferensi karir dan hasil ekonomi.

Kedua penulis ini merekomendasikan pentingnya mempertimbangkan identitas dalam pemodelan ekonomi untuk menekan ketimpangan, diskriminasi pengupahan dan promosi karir yang diskriminatif. Hal seperti ini tengah menjadi isu sensitif di banyak negara bekas jajahan karena kegagalan melawan dikte asing (neoliberalisme) dan kekuatan-kekuatan anti keadilan yang melekat pada struktur sosial dan politiknya.

Clayton M. Christensen yakin kewirausahaan dan inovasi juga terkait dengan identitas (The Innovator’s Dilemma: When New Technologies Cause Great Firms to Fail, 1977) yang antara lain tampak pada gaya korporat dan kebiasaan lama yang dapat menghambat adaptasi. Keterbentukan preferensi dan kesempatan kewirausahaan juga terkait identitas (Roger Waldinger dan Howard Aldrich dalam Ethnic Entrepreneurs: Immigrant Business in Industrial Societies, 2006) sebagaimana ditunjukkan dalam hasil investigasi Shaker A. Zahra & James C. Hayton (Culture and Entrepreneurial Potential: A Nine-Country Study of Locus of Control and Innovativeness, 1999).

Mobilitas sosial (hierarki sosial dan ekonomi) yang tak mungkin dilepas dari identitas rasial dan etnis mempengaruhi kesempatan pendidikan dan akses ke lapangan kerja yang berkualitas (Claudia Goldin dan Lawrence F. Katz, The Race between Education and Technology, 2010).

Banyak kisah monopoli pihak tertentu atas berbagai sektor karena determinan anti penghargaan atas nilai merit system yang mensahkan kolusi, korupsi dan nepotisme. Ketika mengeksplorasi tema identitas dalam konteks politik dan konflik sosial, Francis Fukuyama menegaskan identitas yang menjadi pusat perdebatan dan mengarah pada ketegangan dan perpecahan dalam masyarakat menjadi kenyataan mendunia karena keterancaman yang dapat mempengaruhi dinamika politik dan memicu ketegangan sosial (Francis Fukuyama, 2018, Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment).

Beberapa penulis lain telah menorehkan pena mereka untuk memperingatkan globalisasi dan perubahan sosial yang memicu perasaan keterancaman serius (Anthony Giddens, 1992, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age). Risiko perasaan keterancaman identitas dalam masyarakat pun menghasilkan kedahsyatan perubahan ekonomi, politik, dan budaya yang seringkali mengubah tatanan sosial tradisional dan nilai-nilai budaya yang dipegang oleh masyarakat, yang acap memicu ketidakpastian dan tragedi perasaan kehilangan identitas.

Amartya Sen (2007) ketika menulis Identity and Violence: The Illusion of Destiny tak menyembunyikan fakta konflik etnis dan agama yang pada kondisi tertentu sering menjadi sumber ketegangan yang berakar pada perasaan keterancaman identitas. Ketidakadilan, diskriminasi, atau upaya asimilasi yang merugikan kelompok tertentu yang beroleh pengesahan politik kerap terjadi. Semua fakta tentang ini selalu menunjukkan potensi yang besar memicu perasaan keterancaman identitas dan perdalaman konflik sosial (Benedict Anderson, 2016; José Casanova, 1994, Public Religions in the Modern World; Thomas Hylland Eriksen, 2005, Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspectives, 2002; Steven Elliot Grosby, 2005, Nationalism: A Very Short Introduction; Charles Taylor, 1992, The Politics of Recognition).

Disadari atau tidak, perubahan demografi dan migrasi kerap memicu perasaan keterancaman identitas dalam masyarakat. Ketika masyarakat dihadapkan pada arus migrasi yang signifikan atau pertumbuhan populasi kelompok tertentu, tak terhindari timbulnya perasaan ancaman terhadap identitas, budaya, atau status sosial yang apalagi dibarengi dengan fakta-fakta monopoli semakin meluas atas berbagai sistim sumber dan kesempatan yang didisain oligarki.

Sekaitan itu gentrifikasi telah menjadi fenomena jamak di berbagai negara yang implikasi sosialnya terhadap komunitas lokal sangat buruk. Gentrifikasi adalah proses transformasi lingkungan (perkotaan) yang dihasilkan oleh kehadiran penduduk baru dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi di daerah yang sebelumnya didominasi oleh komunitas lokal berpenghasilan rendah.

Eksplorasi implikasi sosial dari gentrifikasi dan dampaknya terhadap komunitas lokal yang terkena dampak mempengaruhi aspek-aspek sosial yang amat luas seperti akses terhadap perumahan, harga properti, struktur sosial, identitas budaya, serta keterlibatan dan partisipasi komunitas lokal. Identifikasi kebutuhan untuk kebijakan yang lebih inklusif dan strategi pengembangan perkotaan yang memperhatikan kesejahteraan komunitas lokal dalam menghadapi gentrifikasi sangat diperlukan dan mendesak.

Gentrifikasi sebagai fenomena “kota revansis” terjadi di seluruh dunia yang ternyata terkait erat dengan perubahan ekonomi, politik, dan sosial. Sejarahnya erat terkait dengan motif ekonomi dan politik yang mensahkan peristiwa-peristiwa penggusuran, peningkatan harga properti, dan perubahan struktur sosial (Neil Smith, 1996, The New Urban Frontier: Gentrification and the Revanchist City).

Neil Smith yakin, gentrifikasi adalah bentuk pembalasan (revansis) kelompok-kelompok berkepentingan ekonomi dan politik yang kuat terhadap komunitas marginal yang sebelumnya menduduki kawasan yang disasar. Kebijakan publik, perencanaan perkotaan, dan investasi modal berperan mendorong gentrifikasi sebagai upaya revansis terhadap komunitas yang dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kota.

Jika Anderson yakin identitas nasional dan identitas etnis serta pembentukan simbol-simbol terkait hadir melalui konstruksi sosial dan, daripada sesuatu yang bersifat alami, hal itu lebih dibentuk melalui proses sosial dan budaya, maka Karen E. Fields & Barbara J. Fields (2014) dalam Racecraft: The Soul of Inequality in American Life, telah dengan prihatin mengkritisi konvensi sosial, sejarah, dan pembelengguan oleh struktur kekuasaan. Cara-cara seperti ini kerap membuat penduduk mayoritas di sebuah lingkungan atau bahkan negara menderita keterpojokan seolah minoritas yang patut menerima perlakuan buruk.

Terhambatnya pemenuhan kebutuhan individu dan kelompok untuk beroleh hak normatif diakui identitasnya dan proporsi keterwakilannya yang adil dalam segala bidang kehidupan sesuai nilai demokrasi telah memicu gerakan kebangkitan identitas di seluruh dunia. Gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat muncul sebagai respon terhadap kekerasan polisi dan ketidakadilan sistemik terhadap komunitas kulit hitam. Gerakan yang menyoroti peran ras dalam sistem keadilan pidana, kesenjangan sosial, dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat kulit hitam, ini, berjuang untuk pengakuan hak-hak dan proporsi keterwakilan yang adil (Patrisse Khan-Cullors & Asha Bandele, 2018, When They Call You a Terrorist: A Black Lives Matter Memoir; Fernando Orejuela & Stephanie Shonekan, 2019, Black Lives Matter and Music: Protest, Intervention, Reflection).

Di tempat lain Gerakan Indigenous Rights (Australia) menyasar ketidakadilan dan penindasan komunitas pribumi yang terus berjuang untuk pengakuan hak-hak atas tanah adat, otonomi budaya, dan partisipasi politik yang adil. Sebuah perjuangan restorasi dan penghormatan terhadap identitas, budaya, dan tradisi yang disepelekan (Linda Tuhiwai Smith, 2012, Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples; Bruce Pascoe, 2018, Dark Emu: Aboriginal Australia and the Birth of Agriculture).

Kebutuhan individu dan kelompok untuk diakui dan beroleh representasi yang adil dalam segala bidang memang telah memaksa gerakan kebangkitan identitas di seluruh dunia. Representasi dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan tak dapat direduksi apalagi dengan berharap korban ini menerima nasib buruknya karena ketakutan oleh rangkaian pemojokan sistemik yang dikemas dengan tuduhan-tuduhan politik yang sangat licik dan penuh kecurangan.

Senyampang even lima tahunan Pemilu sudah di depan mata, tak salah berharap presiden, para legislator dan para anggota DPD terpilih kelak semakin mengindahkan kekuatan identitas yang begitu kaya di Indonesia. Rakyat perlu mengingatkan, kemerdekaan Indonesia adalah sebuah perjuangan yang didasarkan pada ketersinggungan identitas yang disahuti oleh masyarakat internasional meski harus diperjuangkan dengan susah payah.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Kekuatan Identitas

Kekuatan Identitas

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *