Oleh Shohibul Anshor Siregar
Pascakoalisi made in Joko Widodo semua partai terlibat reorganisasi besar. Untung rugi bersama Joko Widodo yang kekuasaannya segera berakhir dapat disiasati tetap dengan fatsoen politik yang tak kentara aroma pembangkangannya dalam nilai kebudayaan Jawa
Setelah cukup lama merana dan beroleh banyak “teror politik” dari teman separtai yang merendahkannya, Jum’at (21/4/2023), Ganjar Pranowo, resmi menjadi calon presiden dari PDIP. Kepastian itu setelah pengumuman yang dilakukan di Istana Batu Tulis oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri (MSP).
Dengan perkembangan politik terbaru ini maka semakin pasti kandas total usaha penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan oleh Joko Widodo dan seluruh kekuatan politik yang dikerahkannnya.
Dia bawalah catatan buruk ini ke masa depannya sendiri yang kelak akan amat tak indah untuk dikenang. Dengan kehadiran Joko Widodo dalam pengumuman capres ini, yang buat PDIP ia “hanyalah” seorang petugas partai, maka semua manuevernya terkait suksesi selama ini, yang sulit untuk tak dihubungkan dengan jabatannya sebagai Presiden RI, kali ini telah dinolkan Megawati.
Prabowo Subianto pasti maju pilpres 2024 diusung Gerindra dan koalisinya, sama pastinya dengan Ganjar Pranowo. Pertanyaan selanjutnya ketiga bakal Capres yang ada saat ini akan berpasangan dengan siapa?
Jika menggunakan analisis kepartaian sesuai kebutuhan Presidential Threshold yang berlaku, maka nama-nama Airlangga Hartarto (Golkar), AHY (PD), Muhaimin Iskandar (PKB) sangat favourite. Jika Sandiaga Salahuddin Uno berhasil mulus pindah ke PPP, maka namanya pun layak disebut.
Popularitas figur tertentu lainnya dan potensi elektabilitasnya lazim digunakan sebagai pertimbangan yang untuk saat ini terdapat sejumlah nama dari kabinet seperti Mahfud MD, Eric Tohir dan Sri Mulyani Indrawati. Tetapi dengan tiga nama ini risiko kesulitan pembangunan jaringan pemenangan pastilah tak terhindari.
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI dan Sumatera Utara adalah provinsi-provinsi dengan jumlah pemilih terbesar. Karena itu juga sangat penting mempertimbangkan Ridwan Kamil (gubernur Jabar), Khofifah Indar Parawansa (gubernur Jatim) dan Edy Rahmayadi (gubernur Sumut).
Selain itu Gatot Nurmantyo (mantan Panglima TNI dan deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia, KAMI) dan Ahok (mantan gubernur DKI), dengan alasan tertentu, juga harus disebut. Jejaring dan faktor psikologis politik tradisional membuat dua nama ini patut dipertimbangkan.
Kalau demikian maka pilpres 2024 akan mempertandingkan 3 pasangan. Belum tentu. Mengapa? Pertama, potensi kemenangan Anies Baswedan sangat besar dan itu sangat menciutkan nyali siapapun selain 3 parpol pengusung (NasDem, PKS dan PD) ditambah dengan sebuah partai baru (Partai Ummat) yang didirikan oleh pendiri PAN, Mohammad Amien Rais. serta jejaring yang sudah terbentuk. Itu sebabnya ia disebut-sebut telah secara keras dan mencolok diusahakan terjegal melalui KPK dengan tuduhan masalah keuangan event formula E semasa menjabat gubernur DKI.
Kedua, salah satu partai pengusung Anies Baswedan yakni PD, hari-hari belakangan ini kembali diterpa isu dahsyat “pembegalan” sebagai kelanjutan upaya gagal Moeldoko. Sebetulnya kasasi telah menolak gugatan Moeldoko (No.487/K/TUN 2022; 29 September 2022). Tapi kini, kata AHY, Moeldoko mengklaim menemukan 4 novum (bukti) baru meski AHY membantah sebab keempatnya sudah jadi bukti dalam sidang PTUN Jakarta (No 150/G/2021; 23 November 2021). Sebelumnya, MA pun telah menolak kasasi yang diajukan Moeldoko dalam kasus Kongres illegal Luar Biasa PD di Deli Serdang.
Ketiga, jika perkembangan baru ini berujung pada putusan hukum pengakuan kepengurusan Moeldoko, maka posisi partai ini sulit digantikan. Akhirnya koalisi bubar dengan sendirinya dan karena popularitas dan potensi elektabilitas yang sangat tinggi, maka Anies Baswedan akan didorong untuk dipasangkan mendampingi Prabowo Subianto. Apakah ia mau? Ia yakin nilai elektabilitasnya rontok.
Apakah dengan partai “milik sendiri” (Gerindra, beroleh 78 dari 575 kursi di melalui pemilu 2019) Prabowo Subianto cukup mulus untuk pencalonan ini setelah terlebih dahulu beroleh kesepakatan dengan partai lain untuk memenuhi rumus presidential threshold 20 % suara dari pemilu sebelumnya?
Tentu akan ada kemungkinan lebih mudah bagi PDIP peraih 128 (19.33 %) kursi DPR ini untuk memikat partai lain untuk koalisi pengusung Ganjar Pranowo. Tinggal melihat pandangan dan optimisme elit partai apakah dengan bergabung akan beroleh kemenangan dan apa reward seketika dan jangka panjangnya. Sikap yang sama dari partai-partai juga menanti Prabowo Subianto dengan Gerindranya yang beroleh 78 (12.57 %) kursi di DPR.
Lalu apa reward itu? Pertama, mungkin adalah jatah calon Wakil Presiden. Apakah jika Airlangga Hartarto Ketum Golkar (peraih suara terbesar ke tiga pemilu 2019 dengan 85; 12.31 % kursi di DPR) bersedia serta-merta akan diterima elit partai (PDIP atau Golkar) didampingkan menjadi Cawapres bagi Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto?
Meminta PKB (58; 9.69 % kursi DPR) bergabung, baik PDIP maupun Gerindra wajib mempertimbangkan untung-rugi keinginan Ketua Umum partai ini, Muhaimin Iskandar, beroleh jatah Calon Wakil Presiden. Wajib dihitung peluang meraih dukungan NU yang sayangnya kini mungkin sukar mengelakkan Khofifah Indar Parawansa.
Dengan suara masing-masing hanya 44 (6.84 %) dan 19 (4.52 %) kursi di DPR, PAN dan PPP relatif lebih mudah dibujuk dengan tanpa materi perbincangan tentang jatah Capwapres. Tetapi urusan Pilpres yang kali ini untuk pertamakalinya disatukan waktu pelaksanaan dengan pemilu legislatif dan DPD, tidak berhenti sebatas menyeberangkan pasangan calon ke KPU.
Kedua, mungkin tak ada peluang untuk tak membicarakan biaya kampanye ketika membentuk koalisi. Jumlahnya besar, apalagi kalau harus dibayangkan termasuk membayar pemilih untuk jumlah tertentu di luar pemilih die hard, Proporsi tanggung jawab pemimpin koalisi tentu dapat dengan mudah dirumuskan sebab dalam pemilu peluang beroleh manfaat cottail effect tak dapat dinafikan.
Ketiga, powersharing yang kerap berdampak kerontokan nilai demokrasi karena perlemahan serius oposisi yang menyebabkan pengorbanan kepentingan rakyat atas nama koalisi sudah menjadi kelaziman yang dalam pengalaman beberapa dasawarsa terakhir cukup parah sebagai fenomena defisit demokrasi. Tetapi karena partai bertujuan meraih kekuasaan, hal itu sama sekali tak akan terhindari lagi.
Mungkin dokumen kesepakatan Pilpres 2009 yang ditandatangani di istana Batu Tulis 16 Mei 2009 oleh Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden dari PDIP dan Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden dari Gerindra, dapat dirujuk sebagai model.
Waktu itu kedua partai sepakat bahwa Prabowo Subianto sebagai wakil presiden, jika terpilih, mendapat penugasan mengendalikan program dan kebijakan kebangkitan ekonomi berdikari Indonesia, berdaulat politik, dan berkepribadian dalam budaya dalam kerangka sistem presidensial yang kelak akan dituangkan dalam produk hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Prabowo Subianto menentukan nama-nama menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri keuangan, Menteri BUMN, Menteri ESDM, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Pertahanan. Pemerintah yang terbentuk akan mendukung program kerakyatan PDIP dan 8 (delapan) program aksi Partai Gerindera untuk kemakmuran rakyat.
Selain sebuah klausul amat istimewa yang ternyata kemudian tak dapat terwujud, yakni Megawati Soekarnoputri mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden tahun 2014, pendanaan pemenangan ditanggung bersama (masing-masing 50%). Ditinjau dari kepentingan soliditas koalisi partai untuk pencapresan ini dan kerangka kerjanya ke depan, rujukan dokumen Batu Tulis itu kelihatannya masih relevan saat ini.
Sekarang, bagaimana Anies Baswedan bersama NasDem (59 kursi, 9.05 %), PKS (50 kursi, 8.21%) dan Partai Demokrat (54 kursi, 7.77 %) menghadapi kemungkinan kesulitan yang mengancam tekad mereka?
Masih ada waktu memikat partai lain. Percayalah bahwa di antara koalisi partai yang selama ini di atas panggung depan (front stage) terlihat begitu setia dan respek kepada Joko Widodo dan Megawati, sesungguhnya masih dapat diajak berdialog untuk gagasan-gagasan Indonesia lebih besar.
Lagi pula, pascakoalisi made in Joko Widodo semua partai terlibat reorganisasi besar. Untung rugi bersama Joko Widodo yang kekuasaannya segera berakhir dapat disiasati tetap dengan fatsoen politik yang tak kentara aroma pembangkangannya dalam nilai kebudayaan Jawa.
Di atas segalanya hitunglah faktor kepentingan Amerika dan kawan-kawan yang sedang bertempur dengan China dan kawan-kawan untuk memastikan kenyamanan hegemoni mereka. Padahal Indonesia dicita-citakan tak terhalang membela rakyat. Juga tak tersandera “hukum politik baru” yang menyadera Presiden sebagai “petugas partai”.
Satu lagi, kecuali untuk oligarki, tak berguna pemilu dan pilpres tak berintegritas. Misteri besar pemilu 2019 bisa terulang pada 2024. Kini idealitas keinginan pemilu berintegritas sangat ditantang oleh fakta sejumlah besar pejabat kepala daerah dropping yang ditugasi melalui Kementerian Dalam Negeri.
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.