Oleh Shohibul Anshor Siregar
Sesungguhnya, tak selalu langka bahwa keterbelahan hanyalah sebuah keberlanjutan pertentangan untuk keuntungan para pihak yang secara langsung atau tak langsung mengabadikannya sebagai mekanisme perolehan insentif politik
Perbedaan dan arena pertentangan tersebab penafsiran atas realitas sosial tertentu, terutama fenomena politik, di dalam kehidupan sebuah komunitas untuk memperebutkan klaim kebenaran adalah hal yang bersifat dialektikal belaka. Tafsir tak selalu benar. Klaim kebenaran kerap hanyalah racikan strategi propagandis untuk memastikan penyembunyian sedalam-dalamnya kepentingan amat pragmatis di bawah permukaan (Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, 1966).
Sebagai contoh, meski semua elit politik Indonesia tak pernah terorbit kecuali melalui mekanisme politik identitas, yang kebanyakan adalah bentuk kecurangan yang sangat tak bermoral, namun caci-maki terhadap mayoritas penduduk yang dapat sangat potensial mengagregasi diri sebagai kekuatan politik terbesar dan terdahsyat untuk ukuran global tampaknya sedang diminati dan tiada tanda-tanda perkembangan pemikiran untuk beranjak ke cara berpolitik lebih beradab dan lebih demokratis.
Sejak isu terorisme dianggap penting untuk kekuasaan global di bawah pengendalian negara-negara besar yang diikuti oleh hampir semua kelembagaan internasional, praktik buruk yang memusuhi umat Islam terus berkembang. Atas dasar konstruksi stigma buruk yang digovernmentalisasi cara menghadapinya pada tingkat dunia dan di berbagai negara, termasuk ndonesia, menggambarkan betapa besarnya ancaman terorisme itu (Education For Justice, University Module Series Counter-Terrorism (United Nations Office On Drugs And Crime, 2018).
Banyak negara senasib dengan Indonesia yang hanya ikut saja dalam trend dunia itu tanpa mampu menghindar atau setidaknya mendialogkan sesuatu yang salah dalam persepsi yang terlanjur dibangun oleh “diktator dunia”. Tetapi dalam penderitaan akibat disudutkan oleh politik dunia yang terus-menerus menikmati keuntungan dari penerapan rasisme baru Islamofobia, Indonesia semakin mundur, dengan semakin “tak mengenal Islam” karena lebih berminat mengkonstruk agama ini sesuai selera politik abad 21.
Sudah lama media arusutama di Indonesia menempatkan berita-berita tertembaknya orang-orang dalam tuduhan teroris. Tetapi mengherankan semua teroris itu tampaknya sekelas, rata-rata tak memiliki nalar politik kecuali sekadar tahu bagaimana menyelenggarakan urusan mencederai fisik atau membunuh, karena tampaknya sasaran hanya lebih terpaut pada hal-hal kecil yang bahkan sepele-sepele. Padahal semua selalu dihubungkan dengan jejaring besar dan agenda besar yang disebut-sebut mencemaskan dunia dengan keterhubungannya dengan Alqaeda, ISIS dan lain-lain.
Seterbelah apa pun suatu bangsa, pertarungan tafsir atas kebenaran yang (mungkin) mereka abadikan kerap hanya merujuk pada nilai-nilai instrumental sepele. Tetapi kesepelean itulah yang justru kerap dipandang penting (untuk dipaksakan) meski tanpa konsistensi, koherensi, dan korespondensi dengan nilai-nilai universal yang malah selalu dipertamengkan. Dengan demikian keterbelahan, tak terkecuali yang berkonsekuensi menelan korban manusia dalam jumlah besar, tak jarang hanya bertumpu pada konstruksi sosial minus logika dan gagal verifikasi.
Negara adalah wujud simpul dan agregasi terluas kekuasaan resmi untuk klaim legitimasi terbesar, terkuat dan karena itu menjadi paling efektif, baik diterima ihlas dan tulus maupun diterima sementara dan dengan perasaan dan pikiran keterpaksaan oleh entitas yang diikat oleh semacam kesepakatan bersama.
Kekuasaan, secara berterus terang, secara samar-samar atau campuran sifat dari keduanya, secara subjektif selalu dipandang sebaiknya tidak perlu sudi dikontrol oleh siapa pun meski setakat atau seminimum aturan yang disediakan konstitusi dan derivasinya yang semua itu sesungguhnya adalah sebuah titik awal kesepakatan terluas yang dicapai paling dini oleh sebuah komunitas terbesar dalam sebuah bangsa dan, tentu saja, akan begitu juga jika diperluas dalam unit analisis antarbangsa. Itulah karakter utama kekuasaan.
Pertentangan memiliki signifikansi sosiologis karena selalu menghasilkan atau mengubah komunitas kepentingan dalam mekanisme ekstensi belaka dari hasrat elit yang terus berusaha mengagregasi dukungan terluas untuknya agar dengan mudah dapat mengeliminasi yang lain.
Jika dari dorongan-dorongan energi sosial, politik, budaya dan apalagi ekonomi, ini, pertentangan pernah atau berujung perpecahan, pada kenyataannya itu adalah mekanisme sosiologis belaka untuk menghilangkan pertentangan agar sampai pada suatu bentuk persatuan. Bahkan jika melalui pemusnahan salah satu pihak, ini harus difahami tak ubahnya gejala penyakit tertentu yang, bayangkan misalnya, paling ganas, yang merepresentasikan upaya organisme tertentu untuk membebaskan diri dari gangguan dan cedera.
Dari sudut pandang sosiologis mekanisme ini bersifat alamiah belaka. Sama sekali tidak dapat disetarakan dengan hal-hal yang umum difahami dalam ungkapan para “ksatria perang” si vis pacem para bellum (jika kau mendambakan perdamaian, maka bersiap-siaplah menghadapi perang).
Pertentangan itu sendiri sebagaimana dijelaskan oleh Georg Simmel (1904) adalah proses menuju sebuah resolusi dari ketegangan dengan konsekuensi tertentu yang dapat terwujud dalam kedamaian yang dilegitimasi seakan gabungan baru banya elemen dan oposisi, yang termasuk dalam kombinasi di bawah satu konsepsi yang dianggap sebagai capaian konsensus lebih tinggi.
Dengan sendirinya konsepsi ini akan dicirikan oleh sebuah substansi kontras umum antara bentuk-bentuk hubungan dan esensi ketidakpedulian timbal balik. Meski hasil akhir selalu dapat difahami sebagai suatu proses negatif pada satu sisi, tetapi pada sisi lain, untuk tujuan akhir dari setiap bentuk pertentangan, finalitasnya diandaikan sebagai proses disjungtif (pemisahan) di antara faktor jamak untuk menegaskan keunggulan ideal faktor positif yang diandaikan sangat kontras.
Usaha untuk menunjukkan faktor-faktor negatif dalam satu kesatuan yang pada gilirannya akan dieliminasi adalah bagian terpenting dari sesuatu yang disebut sebagai resolusi ideal itu. Tetapi pengandaian politik dan budaya seperti itu mungkin hanya ada dalam gagasan yang tak teruji, dan sama sekali dapat tak potensil menjadi kenyataan empiris.
Kompleksitas permasalahan kebangsaan dan keterbelahannya dewasa ini tak sebatas silang narasi penafsiran belaka terhadap nilai-nilai yang dipandang paling dasar dan yang seyogyanya paling menyatukan. Indonesia kerap mengalami pergantian rezim dengan tak nyaman. Narasi politik permusuhan sangat diperlukan pada setiap transisi itu untuk membebaskan orang dari perasaan tak tega melakukan segala hal demi dan untuk persengketaan.
Hasilnya sama saja. Jika rezim lama dikutuk dengan alasan menyimpang dari Pancasila, mega-mega korupsi dan dengan tuduhan-tuduhan buruk lainnya, rezim pengganti pun segera mentradidikan “minum anggur lama dari kemasan botol baru”.
Perubahan-perubahan besar, bahkan yang didahului oleh tragedi-tragedi berdarah di Indonesia, tetap tak mampu membawa keluar dari beberapa masalah besar yang ditugaskan oleh konstitusi. Sindrom inlanderitas yang parah yang menyebabkan tak mampu move on. Juga tak pernah menghasilkan pembebasan diri dari dikte asing, meski sudah merdeka hampir 8 dasawarsa.
Jangankan memerdekakan diri di depan negara-negara yang saling memangsa, praktik penjajahan oleh bangsa sendiri pun, sebagaimana tercermin dari banyaknya regulasi yang beroleh resistensi politik dari rakyat luas yang mencemaskan masa depan mereka dan negara-bangsanya, terus-menerus menandai keindonesiaan hingga kini.
Akhirnya gagal memaknai pentingnya sumberdaya (alam dan segenap nilai keunggulan komparatif lainnya) untuk siapa dimaksudkan secara imperatif oleh konstitusi. Ini disebabkan oleh tragedi sejarah dan politik yang meniscayakan pembentukan cita-cita tertinggi pada diri banyak elit melalui kaderisasi nasional hanya sebatas menjadi semacam komprador belaka. Karena itu, untuk memikirkan pengendalian oligarki (lokal, nasional maupun global) tak pernah memiliki keberanian moral. Justru kelembagaan politik disubordinasikan untuk kepentingan oligarki.
Bagi pengamat luar yang kerap mampu bersembunyi di balik isu demokratisasi dan isu hak asasi manusia, tampaknya seolah-olah dengan perginya “diktator militer Soeharto” nasib Indonesia sudah berubah dengan janji besar. Indonesia tidak boleh menggantungkan diri pada cara-cara tak sportif seperti itu.
Semua rezim harus dilihat objektif dan proporsional. Terutama karena keleluasaannya untuk membawa Indonesia sesuai keinginan konstitusi yang merdeka semerdeka-merdekanya jauh lebih penting dari pertimbangan penilaian apa pun, apalagi yang kerap cuma sebatas upaya penonjolan tak jujur bersifat artifisial dalam mekanisme political marketing belaka.
Faktanya memang tidak ada rezim yang mampu melawan setiap penjajahan dalam berbagai bentuk kasar dan halus; yang mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah; yang berhasil memajukan kesejahteraan umum; yang sukses mencerdaskan kehidupan bangsa; yang jelas-jelas berketulusan ikut dalam agenda tertib dan perdamaian abadi di dunia.
Sesungguhnya, tak selalu langka bahwa keterbelahan hanyalah sebuah keberlanjutan pertentangan untuk keuntungan para pihak yang secara langsung atau tak langsung mengabadikannya sebagai mekanisme perolehan insentif politik.
Tetapi penting dipertanyakan, dapatkah segenap ketidakmampuan rezim-rezim, jika bukan penyimpangan by design, itu, diletakkan sebagai fokus kerja rezim pasca pemilu 2024 sesuai kehendak imperatif konstitusi?
Apakah pemilu 2024 bisa diharapkan sebagai saluran efektif untuk perubahan lebih baik atau hanya doa-doa penduduk yang tak beroleh keberuntungankah yang akan menolong melalui taqdir Yang Maha Kuasa?
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator umum Pengembangan basis sosial inisiatif & Swadaya (‘nBASiS).