Volksraad Kolonial & Volkasraad Merdeka

  • Bagikan

Apa yang terjadi pada persidangan-persidangan Volksraad  juga dilakoni penuh kstaria oleh aktivis muda Indonesia di berbagai negara

Istilah politik Volksraad konon diadaptasi dari bahasa Belanda, yang secara harfiah bermakna “Dewan Rakyat”. Secara politik dapat diseterakan sebagai perwakilan bagi rakyat Hindia Belanda. Dibentuk 16 Desember 1918 oleh pemerintahan Hindia Belanda atas prakarsai Gubernur-Jendral J.P. van Limburg Stirum bersama Menteri Urusan Koloni Belanda; Thomas Bastiaan Pleyte. 

Dibubarkan tahun 1942 setelah pendudukan Jepang dan secara praktis digantikan fungsinya oleh Chuo Sangi-Inberanggotakan 38 orang tahun 1917, 48 orang tahun 1924 dan 60 orang tahun 1939. Menurut catatan Dr O.Damste & B.Jilderda dalam Nederland Indonesie in De Twintigste Eeuw (1947), ide penciptaan semacam Parlemen Hindia atau Dewan Kolonial sudah pernah dikemukakan sebelum tahun 1900.

Orang tidak memikirkan suatu badan yang mewakili rakyat, tetapi suatu dewan, yang akan menjadi inti Dewan Hindia, dilengkapi oleh orang-orang dari berbagai kalangan, dengan kata lain kamar yang diklaim sebagai lembaga tempat berkiprah para ahli dan pihak-pihak yang secara politik dianggap dipentingkan dan sekaligus berkepentingan.

Berawal dari RUU Pleyte, yang diajukan pada tahun 1914, setelah ditariknya draf yang diajukan oleh Menteri de Waal Malefyt pada tahun 1913, dan kemudian menjadi undang-undang pada tahun 1916, sebetulnya yang dimaksudkan semula adalah Dewan Kolonial, yang kemudian berubah menjadi Volksraad.

Pada tanggal 18 Mei 1918, Volksraad generasi pertama diresmikan oleh Gouverneur Generaal J.P. van Limburg Stirum atas nama pemerintah. Pada awal berdirinya Volksraad  ini hanya memiliki 38 anggota yang, suka atau tidak, hanya 15 oranglah di antaranya pribumi. Anggota lainnya adalah orang Belanda (Eropa) dan orang Timur Asing (Tionghoa, Arab dan India). Barulah pada akhir tahun 1920-an komposisi keanggotaannya berubah, mayoritas pribumi.

Di antara para tokoh-tokohVolksraad yang dikenal aktif antara lain ialah H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Hok Hoei Kan, Khouw Kim An, Majoor der Chinezen, Abdoel Moeis, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Loa Sek Hie, Mas Aboekassan Atmodirono, Mohammad Hoesni Thamrin, Wiranatakoesoema V, Otto Iskandardinata, Jahja Datoek Kajo, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo, dan lain-lain.

***

Dengan hanya memiliki kewenangan sebagai penasehat, Volksraad  awalnya nyaris tanpa manfaat berarti. Tetapi tahun 1927 beroleh tambahan kewenangan co-legislative, itu pun dalam batasan politik dan psikologis yang kuat sebab mereka bersama Gubernur-Jendral yang ditunjuk oleh Belanda, di sana. Selain Gubernur-Jendral memiliki hak veto, kewenangan Volksraad  memang sangat terbatas dan mekanisme rekrutmen keanggotaannya pun turut menentukan keadaan itu karena memang didasarkan oleh bukan pemilihan langsung rakyat. Pada tahun 1939, misalnya, hanya 2.000 orang yang ditetapkan memiliki hak pilih dan dari 2.000 orang ini sebagian besar adalah orang Belanda dan orang Eropa lainnya.

Meskipun demikian, sejumlah catatan gemilang boleh disebut sebagai legacy politik luar biasa. Sebuah peristiwa politik yang terkenal dari Volksraad  adalah Petisi Soetardjo, anggota yang dengan begitu berani mengusulkan kemerdekaan. Sidang yang dimulai pada 9 Juli 1936 kemudian dimanfaatkan oleh Soetardjo pada 15 Juli 1936 untuk menyampaikan tuntutan pemberian kesempatan kepada rakyat bumiputera untuk mengurus pemerintahannya sendiri.

Fenomena lain ialah kecaman Mohammad Hoesni Thamrin atas tindakan-tindakan yang dianggap mengecilkan arti bahasa Indonesia. Berkat dia penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang-sidangVolksraad mulai diperbolehkan sejak Juli 1938. Moeharam Wiranatakoesoemah, anggota Volksraad  lainnya, dalam pidato pada persidangan tahun 2023 menekankan dua permasalahan politik di tanah jajahan dan pergerakan rakyat kaum Pribumi. Raden Otto Iskandar di Nata yang menjadi anggota untuk periode 1931-1934, 1935-1938, dan 1939-1942, pada pembukaan sidang tahun 1931-1932, memberi Belanda dua alternatif: menarik diri dengan sukarela (tetapi terhormat), atau diusir paksa dengan kekerasan dari Indonesia.

Dalam sidang lain, Otto kembali menyampaikan pidatonya bahwa Indonesia akan merdeka. Katanya, “Banyak orang yang mengatakan, bahwa tanpa adanya paksaan, tidak mungkin Nederland mau melepaskan Indonesia, karena memiliki Indonesia itu besar sekali manfaatnya bagi Nederland. Tetapi, biarpun banyak sekali yang mengatakan demikian, saya percaya bahwa suatu waktu bila sudah tiba waktunya, negeri Belanda tentu akan melepaskan Indonesia dengan ikhlas demi keselamatannya.”

Jahja Datoek Kajo yang dalam semua pidato-pidatonya di Volksraad  selalu menggunakan bahasa Indonesia meminta siapa saja yang ingin menginterupsi agar juga menggunakan bahasa Indonesia. Koran-koran pribumi pada masa itu menobatkannya gelar “Jago Bahasa Indonesia di Volksraad “.

Apa yang terjadi pada persidangan-persidangan Volksraad  juga dilakoni penuh kstaria oleh aktivis muda Indonesia di berbagai negara. Pada 10 Juni 1927, akhirnya tindakan berani para aktivis dalam sebuah konvensi menarik perhatian Kejaksaan Belanda, yang memerintahkan penggeledahan sekretariat organisasi para aktivis ini. Mirip dengan sentimen sekarang, sejumlah kitab suci disita dan beberapa waktu kemudian Mohammad Hatta, Raden Mr. Ali Sastroamidjojo, Raden Mas Abdul Madjid, Djojo Adhiningrat dan Mohammad Nazir Datoek Pamontjak dijebloskan ke tahanan preventif.

Setiap orang Belanda di Indonesia dan d Belanda waktu itu mungkin akan mengepalkan tinjunya ketika membaca gugatan Indonesia Merdeka yang dipidatokan  Mohammad Hatta dengan begitu berani, relatif jauh sebelum tuntutan politik serupa itu terdengar di tanah air.

***

Robert Dahl mengembangkan konsep poliarki untuk menggambarkan demokrasi sebagai tipe rezim politik. Dia yakin demokrasi modern memiliki ruang untuk berkembang, dan karena itu rasa frustrasi pada arena demokrasi adalah keluhannya juga sebagaimana diterangkan dalam Democracy and its Critics (1989). Dalam bukunya itu Dahl berusaha cermat memeriksa asumsi paling mendasar dari teori demokrasi dan kemudian menyimpulkan dengan membahas arah ke mana demokrasi harus bergerak jika negara demokrasi maju akan tetap ada pada masa depan.

Joseph Schumpeter (Capitalism, Socialism And Democracy, 1942) memandang demokrasi sebagai klasifikasi biner. Apalagi tand-tanda besarnya dengan mudah dikenali melalui “persaingan persaingan suara rakyat”, dengan begitu mudah dia definisikan pemerintahan mana pun dengan Pemilu yang kompetitif sebagai demokrasi. Tetapi definisinya ini selalu digambarkan sebagai kriteria kasar yang minimalis.

Pengeritik dapat segera memberi penjelasan bahwa dalam kriteria demokrasi seperti itu bisa saja tidak begitu dirasa perlu kadar kebebasan sipil. Padahal hal itu selalu diasosiasikan dengan demokrasi liberal seperti kebebasan berbicara. Schumpeter bahkan tidak menuntut hak pilih universal. Meskipun demikian, banyak ilmuwan politik telah mengadopsi definisi demokrasi Schumpeter yang dimodifikasi karena kesederhanaannya.

Sama dengan keluhan di banyak negara hari ini, demokrasi lebih dari sekedar Pemilu. Karena itu melengkapi konstruksinya Dahl merujuk pada delapan institusi yang diperlukan untuk poliarki yang kemudian lebih dikenal dengan karakteristik demokrasi, yaitu kebebasan untuk membentuk dan bergabung dengan organisasi; kebebasan berekspresi; hak untuk memilih; kelayakan untuk jabatan publik; hak para pemimpin politik untuk bersaing mendapatkan dukungan; hak pemimpin politik untuk memperebutkan suara; sumber informasi alternatif; pemilihan umum yang bebas dan adil; dan lembaga untuk membuat kebijakan pemerintah bergantung pada suara dan ekspresi preferensi lainnya.

Konsep poliarki ini membuka kemungkinan rezim hibrida atau bahkan demokrasi yang cacat sebagaimana Freedom House terangkan dalam banyak publikasinya termasuk tentang varietas demokrasi itu sendiri.

Dalam “Demokrasi di Dunia Mengalami Kemunduran” misalnya, Freedom House membeberkan data bahwa demokrasi dan pluralisme bahkan sedang diserang. Diktator berupaya keras membasmi perbedaan pendapat yang tersisa dan menyebarkan pengaruh berbahaya ke sudut-sudut baru di dunia. Persekusi di mana-mana, kebebasan menurun tajam, orang-orang telah turun ke jalan dan mengekspresikan ketidakpuasan terhadap sistem politik yang berlaku; di Hong Kong, Aljazair, Bolivia, Chili, Ethiopia, Indonesia, Irak, Iran, Lebanon, dan Sudan.

Gerakan-gerakan ini umumnya adalah ekspresi perasaan dan pikiran yang secara langsung bertentangan dengan sumber utamanya, yakni kepentingan kekuasaan yang telah mengakar kuat. Kekuasaan ini gagal menghasilkan perubahan yang signifikan. UU Anti-Hoaks, misalnya, khususnya di Asia Tenggara, berkorelasi kuat dengan proses penciptaan rezim digital otoriter (Emily Gordine, 2020).

***

Melihat catatan kinerjanya, selama periode 1927-1941 Volksraad  hanya pernah membuat enam undang-undang, dan dari jumlah ini, hanya tiga yang diterima (W.H. van Helsdingen, 1938,  Tien jaar Volksraad arbeid, 1928-1938). Indonesia pun mencatat nama besar dengan legacy besar (Soetardjo, Mohammad Hoesni Thamrin, Moeharam Wiranatakoesoemah, Raden Otto Iskandar di Nata, Jahja Datoek Kajo, dan lain-lain).  

Apakah kini tak terpikir bagi para anggota Volksraad zaman merdeka untuk meributkan perikeadaan rakyat yang dimestikan oleh konstitusi untuk diperjuangkan? Memperjuangkan demokrasi menjadi lebih demokratis, berkeseriusan dalam memperjuangkan kesetaraan politik, membongkar bahaya teriakan tirani mayoritas dalam keterjaminan surplus hak istimewa dalam praktik tirani minoritas yang disembunyikan, demokrasi ekonomi, kualitas substantif kebebasan sipil, dan lain-lain.

Tentu sekarang akan sangat terasa begitu tak dapat dipahami oleh banyak orang bahwa perwakilan rakyat (Volksraad) hari ini, hampir tanpa disadari, adalah sebuah kekecewaan tentang prematurnya quasi-parlement di negara yang masih jauh dari dianggap matang secara politik meski sudah lama tak lagi dijajah Belanda, dan jika beberapa sifat dasar dapat diperbandingkan, maka ketidakpuasan terhadap kewenangan terbatas Volksraad (masa kolonial dan merdeka) sudah berusia begitu lama.

Padahal, sama seperti cara ber[ikir dan klaim politisi paling sukses dan paling puas hari ini, Gubernur Jenderal sendiri dalam pidatonya waktu itu menggambarkan kemungkinan masa depan dengan kata-kata “memindahkan pusat gravitasi ke Hindia, semakin pentingnya Volksraad, kekuasaan legislatif dan mayoritas pribumi”.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSUKoordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Volksraad Kolonial & Volkasraad Merdeka

Volksraad Kolonial & Volkasraad Merdeka

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *