Ma’ruf Amin yang menjadi kuda hitam saat sosok Mahfud MD terlempar dari radar karena kehawatiran PKB dapat menjadi ancaman bila Mahfud menjadi Wapres bagi dinamika internal PKB, khususnya apabila ada grand design Munaslub PKB sesudahnya
Dua nama mendekati nyata sebagai Calon Presiden, khususnya terkait konstestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Deklarasi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) untuk menjadikan Anies Rasyid Baswedan (ABW) sebagai Capres pada Oktober 2022 lalu, diikuti oskestrasi Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Keputusan PD mendukung ABW telah ditetapkan melalui rapat Majelis Tinggi Partai Demokrat. PKS pun menggelar Rakernas dan mantap mengusung ABW bersama Koalisi Perubahan yang de facto sudah mengantongi tiket ET (electoral threshold) 20 persen untuk pencalonan resmi Oktober 2023.
Langkah Prabowo Subianto (PS), Ketua Umum Partai Gerindra, untuk maju ke pentas Pilpres 2024 kian mantap. Pada Senin (6/3/2023) Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh, menyambangi PS di Padepokan Garuda Yaksa di Hambalang, Jawa Barat. Terlontar tekad kedua tokoh politik untuk menghormati pilihan bakal Capres masing-masing. Keduanya juga bertekad untuk menjaga pemilu yang jurdil dan mengenyampingkan kemungkinan untuk saling serang dengan mencerca masing-masing pribadi “jagoannya”.
Tentu saja satu sinyal yang bagus buat pesta demokrasi 2024. Dengan pertemuan ini sekaligus kian mengikis peran “bayang-bayang” Joko Widodo (Jokowi) sebagai king maker dalam konteks daya jangkaunya untuk mempengaruhi Nasdem maupun Gerindra sebagai pendukung pemerintah, atau sebagai pihak yang melakukan provokasi untuk “menggadang-gadang” Ganjar Pranowo.
Pertanyaan lain muncul tentang siapa kemungkinan Bakal Calon Wakil Presiden (Wapres) yang ideal bagi ABW dari perspektif praktis dan strategis, begitu pula bagi PS. Posisi Waspres ABW atau PS ini menarik, sebab dukungan elektoral akan menjadi “amunisi” baru yang kental dengan keyakinan demi menang dalam pertarungan Pilpres 2024. Sedangkan PDI Perjuangan yang bisa mengusung calon sendiri, belum juga menentukan pilihannya, apakah Ganjar Pranowo (GP) atau Puan Maharani (PM) sebagai kandidat bakal Capres.
Pilihan Strategis
Selama ini beredar sejumlah nama yang potensial mendampingi ABW, di antaranya Jenderal (Purn) Andika Perkasa, Agus Harimurni Yudhoyono (AHY), Ahmad Heryawan, dan peluang nama lain tetap terbuka. Apa pun pilihan ABW nantinya, saya kira hadir momentum yang menarik bila kita melihat faktor elektoral dan dukungan kultural. Ada tiga titik krusial seperti dukungan warga nahdliyin, khususnya warga Jawa Timur sebagai provinsi dengan penduduk tiga terbesar di Indonesia (bersama Jawa Tengah dan Jawa Barat).
Bila mengacu ke warga nahdliyin, tentu saja menarik acara peringatan Satu Abad Nahdatul Ulama (NU) di Sidoarjo pada Selasa (7/2) lalu. Tergambar satu strategi politik yang cerdas dari NU untuk pencitraan maupun bargaining power bagi posisi strategis Pilpres 2024. Secara kultural elite NU sudah berhitung tentang positioning-nya. Bisa jadi ABW memilih sosok Cawapres dari kalangan NU, hadir tiga sosok yang menjadi figur ikon dalam peringatan Satu Abad NU, dan potensial sebagai Cawapres ARB, atau Cawaspres bagi kandidat lain seandainya Ganjar Pranowo (GP), Puan Maharani (PM), atau Prabowo Subianto (PS) maju sebagai Capres. Yaitu Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur), dan “Banser” Erick Thohir (ET) sebagai sosok entrepreneur cum pejabat tinggi negara.
Yenny sebagai sosok putri Abdurahman Wahid, Presiden RI keempat, memiliki kapasitas intelektual, darah biru NU, dan simbol kultural dari nahdliyin masa kini. Dengan latar belakang sebagai wartawati tentu saja Yenny adalah sosok yang punya kapasitas mengungkapkan gagasan kritis, networking, dan massa dukungan. Yenny adalah simbol kecerdasan intelektual NU. Figur lain, yaitu Khofifah Indar Parawansa (KIP), punya massa pendukung cukup militan di kalangan warga nahdliyin NU, tak terkecuali Muslimat NU (satu badan otonom NU). Posisi KIP sebagai Gubernur tentu saja strategis dan sudah teruji secara elektoral ril dalam Pilgub 2018.
Sementara, Erick Thohir (ET) yang membangun citra sebagai Banser NU, adalah sosok yang sangat dipercaya oleh Pak Joko Widodo (Jokowi). ET adalah Ketua Tim Sukses Jokowi-Amin pada Pilpres 2019, punya portofolio dalam mengerahkan budget maupun dukungan massa bagi pemenangan Pilpres yang lalu.
Bila tak memilih kalangan NU, sungguh sangat bijak bila ABW memilih AHY sebagai Capres mengingat figur baru ini sangat digandrungi oleh kalangan milenial, selain hasil beberapa survei yang mengindikasikan AHY sebagai “kuda hitam”. Selain itu ada nama Sandiaga Uni yang kini “digadang-gadang” oleh PKS, walau mendapat resistensi dari kalangan Nasdem maupun PD. Sandiaga dinilai bukan sosok perubahan melainkan bagian dari kekuasan sekarang.
Di luar itu semua, tentu saja bisa muncul sosok ‘kuda hutam” yang lain sebagai bakal Capres mengingat pencalonan resmi masih beberapa bulan ke depan. Tersisa waktu panjang untuk konsolidasi internal maupun eksternal, mengingat faktor elektabilitas ini begitu penting, selain dukungan “amunisi” berupa dana segar untuk membiayai kampanye dan beragam atribut yang mengikutinya.
Sebagai jurnalis yang berada di lapangan pada masa lalu saya menjadi saksi perubahan kekuasaan beralih dari masa ke masa dengan segala ironinya. Figur dan atribusinya menjadi sosok yang sangat penting di dalam Pilpres one vote one man, tak terkecuali Pilpres 2024. SBY-JK bisa menaklukkan petahana Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2004, Joko Widodo bisa moncer karir politiknya dalam waktu singkat tahun 2014.
Secara kasat mata dapat dilihat bahwa PS masih ragu-ragu untuk memilih Muhaimin Iskandar dari PKB sebagai pasangan Calon Wapres. Pilihan kepada sosok Khofifah bisa jadi menjadi pendulang suara bagi PS, khususnya di Jawa Timur. Kalau Jawa Tengah selama ini menjadi basis dukungan PDI Perjuangan, Jawa Barat kelihatannya lebih “cair” mengingat PS maupun ABW dapat bersaing ketat di sana dalam konteks meraih suara pemilih.
Pada kenyataannya semua faktor masih bergerak dinamis menjelang pencalonan resmi pada Oktober 2023. “Bahasa langit” dapat mengubah peta di lapangan. Siapa menyangka Abdurrahman Wahid bisa menjadi Presiden (dengan dukungan Poros Tengah) dalam sidang MPR tahun 1999 padahal secara legalitas yuridis saat itu punya “cacat” yaitu Kesehatan sebagai syarat formal Capres. SBY juga hadir last minutes tahun 2004 dan secara cerdik memanfaatkan momentum tudingan “Jenderal Kanak-kanak” dengan mobilisasi playing victims (saat itu Partai Demokrat hanya punya suara 7,45 persen pada Pemilu Legislatif 2004). Joko Widodo juga di luar common sense kalkulasi politik sebelumnya, tapi sejarah mencatat Pak Jokowi adalah Presiden RI (ketujuh) dua periode.
Begitu pula dengan sosok Wapres Ma’ruf Amin yang menjadi kuda hitam saat sosok Mahfud MD terlempar dari radar karena kehawatiran PKB dapat menjadi ancaman bila Mahfud menjadi Wapres bagi dinamika internal PKB, khususnya apabila ada grand design Munaslub PKB sesudahnya.
Kita menunggu dinamika politik dalam pesta demokrasi yang sebenarnya. Siapa pun yang dipilih mendampingi ABW, atau mendampingi PS, atau mendampingi GP (atau PM) dari PDI Perjuangan harus benar-benar berjuang untuk memenangkan pertarungan Pilpres tahun 2024. Pilihan terhadap sosok dari kalangan yang dapat mendulang dukungan suara menjadi sangat penting.
Penulis adalah Direktur PT Kaisar Komunikasi (public relations consultant), Jurnalis Dan Praktisi Public Relations, Pernah Menjadi Jurnalis Waspada Grup, The Jakarta Post, RCTI, Trans TV.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.