Jika etika jabatan publik terus diabaikan Gayusisme akan berlanjut di tangan Angin Prayitno Aji, Rafael Alun Trisambodo, Wawan Ridwan dan Eko Darmanto. Begitulah seterusnya pengusung Gayusisme tetap hidup menyala! Gairah Gayusisme cuma padam sebentar, setelah itu bangkit lagi
Ketika diskursus etika dan konflik kepentingan publik mengemuka, ingatan publik selalu dibawa ke tahun 2010 ketika kasus korupsi seorang pegawai negeri golongan 3A di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan bernama Gayus Halomoan Tambunan menyeruak. Kala itu Indonesia dibuat gempar, bukan hanya karena nilai korupsinya yang fantastis, tapi setelah ditelusuri oleh aparat penegak hukum, kasus ini melibatkan orang-orang besar yang punya pengaruh dan kekuasaan.
Kasus Gayus membuat citra aparat pajak tercoreng dan meruntuhkan semangat reformasi birokrasi yang diusung menteri keuangan kala itu, Sri Mulyani (https://kolom.tempo.co/read/1304520/etika-dan-keteladanan-pejabat-publik).
Seiring perjalanan waktu drama kasus serupa kembali sejarah berulang. Iya, setelah kasus korupsi yang menyeret Gayus, kini Indonesia kembali diuji. Apakah aparat, dalam hal ini pejabat publik, telah bebas dari korupsi atau justru sebaliknya? Sederhananya, apakah pejabat publik telah memegang teguh etika sebagai administrator publik atau justru terjebak pada kepentingan yang akhirnya tidak dapat membedakan mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi atau golongan.
Jimly Asshiddiqie (2018) mengatakan maraknya pejabat publik yang tersandung kasus hukum menunjukan betapa lemahnya pengawasan dalam ranah sistem hukum. Tak hanya persoalan hukum, masalah etika-etika yang berlaku dalam jabatan negara atau publik seringkali tak diindahkan. Karena itu, perlunya penguatan pengawasan etika di masing-masing institusi agar dapat menjaga marwah lembaga negara dan jabatan negara/publik yang diembannya.
Menurut Dwiyanto (2002), etika dalam konteks birokrasi adalah suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan terhadap masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
Aktan (2015) berpandangan bahwa etika administrasi publik menekankan pentingnya transparansi guna mencegah korupsi. Dia juga menjelaskan perilaku tidak beretika dalam pemerintahan, seperti penyuapan, nepotisme, dan memburu rente.
Elvani Azzuhra (2020) mengatakan etika ini secara umum memiliki tiga maksud, yaitu Pertama, nilai-nilai dan norma-norma atau biasa disebut sistem nilai. Kedua, himpunan asas atau nilai moral. Ketiga, etika adalah ilmu mengenai hal yang baik dan yang buruk.
Menurut Haryatto (2011) etika publik adalah refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik-buruk dan benar-salah suatu perilaku, tindakan, dan keputusan yang mengarahkan kebijakan publik dalam menjalankan tanggung jawab pelayanan publik.
Ada tiga fokus etika publik. Pertama, pelayanan publik berkualitas dan relevan. Kedua, fokus refleksi karena tak hanya menyusun kode etik atau norma, etika publik membantu mempertimbangkan pilihan sarana kebijakan publik dan alat evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etis. Ketiga, modalitas etika: bagaimana menjembatani norma moral dan tindakan.
Ketiga fokus itu mencegah konflik kepentingan. Etika publik berkembang dari keprihatinan terhadap pelayanan publik yang buruk karena konflik kepentingan dan korupsi.
Konflik kepentingan dipahami sebagai konflik antara tanggung jawab publik dan kepentingan pribadi atau kelompok. Pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan diri atau kelompok sehingga membusukkan kinerjanya dalam tugas pelayanan publik (OECD, 2008).
Konflik kepentingan tidak hanya mendapatkan uang, materi, atau fasilitas untuk dirinya. Juga semua bentuk kegiatan (penyalahgunaan kekuasaan) untuk kepentingan keluarga, perusahaan, partai politik, ikatan alumni, atau organisasi keagamaannya. Konflik kepentingan mendorong pengalihan dana publik. Modus operandinya beragam: korupsi pengadaan barang atau jasa, penjualan saham, penalangan, proyek fiktif, manipulasi pajak, dan parkir uang di bank dengan menunda pembayaran untuk memperoleh bunga.
Konflik kepentingan yang mencolok (pendanaan ilegal Parpol, penguasa yang pengusaha), dan yang tersamar (calo anggaran, cari posisi pasca-jabatan, turisme berkedok studi banding) membentuk kejahatan struktural yang merugikan kepentingan publik.
Gayusisme & Hedonisme
Jika etika jabatan publik diabaikan, fenomena Gayus Tambunan bakal tumbuh kembang sebagai fakta. Mengapa Gayus sebagai role model? Sebab bagi Roby Arya Brata (2011) Gayus Tambunan bukan hanya sekadar fenomena hukum dan politik. Ia juga fenomena sosiologis. Gayus adalah simbolisasi keruntuhan moral, etika, dan nilai-nilai seorang aparatur negara. Dia adalah anak kandung dan “korban” dari masyarakat yang sakit.
Masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai hedonisme, materialisme, dan konsumtivisme. Kasus Gayus adalah kesalahan kolektif. Sesungguhnya fenomena Gayus merupakan manifestasi dari ideologi kerakusan dan hedonisme di kalangan pejabat publik, suatu paham yang kemudian disebut “Gayusisme”.
Lebih lanjut Roby menjelaskan lebih jauh ideologi ini dari perspektif sosiologi korupsi. Gayusisme adalah “anak kandung” hedonisme. Seperti hedonisme, Gayusisme menilai kebaikan intrinsik dari pencapaian nafsu atau kepuasan badaniah (pleasure). Gayusisme memandang keberhasilan seorang pejabat, baik publik maupun swasta, dari sejauh mana ia dapat memanfaatkan jabatannya untuk memaksimumkan kepuasan lahiriah (kekayaan) dan meminimalkan penderitaan badaniah (kemiskinan).
Ia tidak peduli apakah caranya legal maupun ilegal. Secara etis, dia hanya mementingkan dirinya sendiri (ethical egoism). Dengan mengumpulkan kekayaan lebih dari Rp100 miliar, Gayus tidak peduli tindakannya itu menyengsarakan rakyat.
Gayusisme juga “saudara kembar” materialisme. Dalam perspektif teoretis Karl Marx dan Friedrich Engels, materialisme adalah kenyataan sejarah ketika aktivitas manusia didorong oleh motif untuk memuaskan kebutuhan ekonominya. Namun, dalam bentuknya yang ekstrem, materialisme mewujud dalam pengagungan nilai-nilai materialistik dan kekayaan ekonomi.
Seperti materialisme, Gayusisme berpandangan jabatan (publik) sebagai kesempatan dan komoditas ekonomi untuk memperkaya diri (illicit enrichment).
Gayusisme merupakan imbas dari konsumtivisme yang menjangkiti masyarakat dan sistem ekonomi kapitalis. Sebagai tatanan ekonomi dan sosial yang mendorong perilaku konsumtif konsumtivisme telah memengaruhi tatanan nilai para pejabat dan keluarganya. Jabatan dianggap sebagai sumber ekonomi yang mewah (lucrative source) untuk menunjang gaya hidup konsumtif para pejabat dan keluarganya.
Gayusisme tumbuh subur dan menjadi epidemi pada masyarakat yang toleran terhadap perilaku korup. Seperti kejahatan lainnya, menurut teori Reintegrative Shaming dari John Braithwaite, Gayusisme sebagai bentuk korupsi kerakusan (corruption by greed) akan tumbuh subur di tengah masyarakat yang toleran atau tidak mempermalukan perilaku korup.
Pengangkatan mantan narapidana/koruptor sebagai ketua persatuan olahraga. Pemilihan terpidana koruptor dalam pemilihan umum, dan pelantikan terdakwa kasus korupsi menjadi kepala daerah adalah contoh jelas sikap toleransi terhadap perilaku korupsi.
Kepemimpinan nasional yang lemah juga berkontribusi dan menyempurnakan epidemi Gayusisme. Tidak adanya keteladanan integritas dari para pemimpin politik dan birokrasi serta rendahnya penghargaan terhadap kejujuran akan mendorong para pejabat publik untuk berbuat korup. Keadaan menjadi makin parah bila birokrasi itu dipimpin oleh para birokrat pencuri, atau yang disebut “kleptobirokrasi”. Pola kerja kleptobirokrasi, justru pegawai yang korup atau kleptobirokrat yang akan dipromosikan!
Gayusisme bila dibiarkan dapat melumpuhkan negara, suatu keadaan yang sedang menimpa negara kita. Jabatan tidak lagi digunakan untuk melayani dan melindungi kepentingan publik, melainkan untuk mencapai tujuan serta keuntungan pribadi dan kelompoknya. Program-program pemerintah tidak akan mencapai tujuannya karena keputusan dan wewenang pemerintahan disalahgunakan. Sumber daya publik dicuri atau dimanfaatkan tidak sebagaimana mestinya.
Potensi penggelapan dan penyelewengan perpajakan dan anggaran belanja pemerintah yang diduga berjumlah triliunan rupiah itu tentu akan sangat bermanfaat untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan pendidikan.
Gayusisme yang sistemik akan melemahkan fungsi-fungsi institusi pemerintahan. Lembaga-lembaga pemerintahan yang dipimpin oleh para kleptobirokrat tidak akan mampu menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan untuk menyejahterakan masyarakat. Kegagalan institusi ini dalam jangka panjang akan melumpuhkan fungsi negara untuk memajukan dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara (failed state).
Jika etika jabatan publik terus diabaikan Gayusisme akan berlanjut di tangan Angin Prayitno Aji, Rafael Alun Trisambodo, Wawan Ridwan dan Eko Darmanto. Begitulah seterusnya pengusung Gayusisme tetap hidup menyala! Gairah Gayusisme cuma padam sebentar, setelah itu bangkit lagi. Gayusisme, patah tumbuh hilang berganti. Mati satu tumbuh seribu!
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota KY 2015-2020, Dosen UMSU.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.