Menuju Masyarakat Monolingual ?

  • Bagikan
<strong>Menuju Masyarakat Monolingual ?</strong>

Tidak bisa dipungkiri bahwa status bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dominan di Indonesia dan hampir menyerupai kondisi bahasa Inggris. Meskipun tidak digunakan di setiap bagian wilayah negeri ini tetapi bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pertama (first language) di kota-kota utama

Selain memiliki keragaman etnis, budaya dan agama, Indonesia juga memiliki sangat banyak bahasa (multilingual country). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Summer Institute of Linguistics (1980) jumlah bahasa di Indonesia kira-kira sebanyak 583. Jumlah yang pasti memang tidak pernah diketahui karena metode survei yang dilakukan para pakar tidak sama namun tidak ada pakar yang menyebutkan bahwa jumlah bahasa di Indonesia tidak sampai 300.

Dari jumlah bahasa yang amat banyak itu salah satu telah dipilih dan disepakati oleh rakyat Indonesia sebagai bahasa negara yaitu bahasa Indonesia yang diikrarkan pada peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928. Bahasa yang dipilih sebagai asal muasal bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau (MR). Kenapa bahasa MR yang ditetapkan sebagai bahasa nasional bukan bahasa lain seperti bahasa Jawa yang jumlah penuturnya jauh lebih besar?

Ada beberapa pertimbangan untuk memilih dan menetapkan bahasa MR sebagai cikal bakal bahasa Indonesia. Alasan-alasan itu tidak dibahas dalam tulisan ini. Namun fakta telah menunjukkan bahwa sejak bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa negara hingga saat ini belum pernah terjadi konflik kebahasaan di negeri ini seperti misalnya pemaksaan atau pengusulan bahasa daerah lain yang menjadi bahasa resmi negara seperti yang sering terjadi di sejumlah negara lain.

Dalam pertumbuhannya dan berbarengan dengan usia bahasa Indonesia yang semakin tua (kini 94 tahun) jumlah pemakai dan pemakaian bahasa nasional ini pun terus meningkat. Kemampuan menggunakan bahasa Indonesia dipandang sebagai simbol keterpelajaran, simbol kemajuan dan bahkan simbol prestise. Sebaliknya ketidakmampuan menggunakan bahasa Indonesia melambangkan ketertinggalan dan keudikaN.

Dalam lingkup nasional seseorang yang tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia di jaman modern ini perlu dipertanyakan apa sebabnya dia tidak dapat berbahasa Indonesia dalam kondisi hampir semua lalu lintas komunikasi nasional menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai sarana komunikasi seperti media massa cetak (surat kabar, majalah, buku-buku, dokumen-dokumen negara maupun media elektronik seperti radio, dan audiovisual seperti film, TV, FB, Youtube dll).

Keyakinan bahwa Indonesia sedang menuju masyarakat monolingual seperti dijadikan judul tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian yang berjudul “Sikap dan Pemakaian Bahasa Indonesia oleh Penutur Bahasa Daerah di Provinsi Sumatera Utara”, sebuah penelitian yang dilakukan oleh penulis sendiri bersama beberapa kolega yang didanai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Kemendikbud serta dikelola oleh Universitas Sumatera Utara tahun 2020 dan 2021dan juga diperkuat oleh sejumlah hasil penelitian lain yang dilakukan oleh beberapa pakar bahasa di Pulau Jawa.

Dengan menggunakan sampel sebanyak 260 orang (laki-laki dan perempuan dengan rentang usia 20-60 tahun) yang berasal dari 13 kabupaten/kota dan yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari (bahasa Melayu Langkat dan Asahan, Batak: Toba, Angkola, Mandailing, Karo, Simalungun dan Pakpak) bahasa Jawa, bahasa Pesisir/Minangkabau dan bahasa Nias) jawaban terhadap angket yang diajukan ditemukan adalah (1) sikap responden terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang diukur dengan menggunakan skor adalah 69,99.

Skor yang kurang satu digit untuk mencapai 70 ini ekuivalen dengan nilai B, sebuah pengukuran capaian nilai yang biasa digunakan dalam dunia akademik (A,B,C,D dan E) dan (2) tentang pemakaian bahasa di wilayah Sumatera Utara jawaban responden adalah seperti terlihat dalam diagram berikut:

Angka-angka dalam diagram menunjukkan bahwa pemakaian bahasa Indonesia (BI) mendominasi dengan jumlah 36.98%), pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah yang diberi label ELBI (Ethnic Language and Bahasa Indonesia) lebih dominan daripada pemakaian bahasa daerah yaitu sebanyak 32.18% dan pemakaian bahasa daerah EL (ethnic language) menempati posisi terendah yaitu sebanyak 30.82%. Dengan kata lain frekuensi pemakaian bahasa Indonesia oleh responden lebih tinggi secara signifikan daripada pemakaian bahasa daerah mereka sendiri dan pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa daerah (mixed language) bahkan lebih tinggi pula dari pada pemakaian bahasa daerah.

Penelitian yang lain dengan hasil yang kurang lebih sama adalah penelitian yang dilakukan oleh Nirmala (2013) tentang pemakaian bahasa Jawa sebagai bahasa etnis mahasiswanya di Universitas Diponegoro, Jawa Tengah. Hasil yang dicapai adalah meskipun sikap mahasiswa terhadap bahasa Jawa sebagi bahasa daerah mereka masih menunjukkan status positip namun bahasa yang mereka gunakan dalam komunikasi sehari-hari antarteman adalah bahasa Indonesia. Kurniasih (2006) juga menemukan bahwa kaula muda di Yogyakarta telah beralih dari pemakaian bahasa daerah (bahasa Jawa) ke bahasa Indonesia.

Lebih jauh sebagai bukti tambahan, meskipun observasi yang penulis lakukan tidak terjadwal dan terstruktur di beberapa wilayah seperti Banda Aceh, penulis menemukan bahwa anak-anak muda di kota itu berinteraksi dalam bahasa Indonesia bukan bahasa Aceh. Di kota Padangsidempuan yang secara historis masyarakatnya menggunakan bahasa Angkola sebagai sarana komunikasi sehari-hari namun dewasa ini tidak sulit menemukan bahwa terutama anak-anak sudah terbiasa mencampur bahasa daerah dengan bahasa Indonesia. Jadi anak-anak sekarang di kota itu sedang dalam proses menuju status bilingual (penguasaan dua bahasa: bahasa daerah dan bahasa Indonesia) yang menghasilkan pencampuran bahasa daerah dengan bahasa Indonesia (code mixing).Dahulu anak-anak pertama kali mengenal bahasa Indonesia ketika mereka duduk di bangku kelas empat Sekolah Rakyat (kini SD).

Seterusnya tidak asing lagi bagi kita bahwa dalam keramaian-keramaian di daerah yang menggunakan bahasa daerah, bahasa Indonesialah yang digunakan bukan bahasa daerah seperti dalam majelis taqlim,hutbah di masji-masjid, musyawarah-musyawarah organisasi. Hanya dalam upacara adat sajalah bahasa daerah yang digunakan.

Sejumlah pakar linguistik kini mengkhawatirkan keberlanjutan penggunaan bahasa-bahasa daerah di negeri ini. Kekhawatiran ini secara rutin disampaikan dalam SNBI (Seminar Nasional Bahasa Ibu) yang digelar di Bali setiap tahunnya dengan tema utama adalah “Pemertahanan Bahasa-bahasa Daerah di Tanah Air”. Para pakar merasa cemas melihat bahwa pemakaian bahasa daerah semakin tergerus sementara pemakaian bahasa Indonesia semakin subur.

Yang Dominan Cenderung Ditiru

Mari kita lihat kondisi kebahasaan di Inggris sebagai sebuah perbandingan. Kerajaan Inggris (United Kingdom) terbangun dari empat wilayah: England, Wales, Scotland dan Northern Ireland (Irlandia Utara). Masing-masing wilayah di masa lalu menggunakan bahasa daerahnya. England (Inggris) menggunakan bahasa Inggris, Wales menggunakan bahasa Walesh, Scotland menggunakan bahasa Scottish dan Northern Ireland menggunakan bahasa Irish (hanya 0,2% Penduduk Irlandia Utara sekarang menggunakan bahasa daerah). Menurut sensus bahasa tahun 2011 (en.wikipedia.org/wiki/languages_of_the_United_Kingdom) jumlah penduduk negeri itu yang berusia di atas tiga tahun menggunakan bahasa Inggris sebanyak 98% tinggal sisanya dalam jumlah yang sangat kecil yang menggunakan bahasa daerah. Jadi Inggris sudah sangat mendekati kondisi monolingual.

Menurut teori Linguistik, bila terjadi language contact (dua bahasa yang berbeda digunakan/bersinggungan di satu tempat), penutur bahasa minoritas cenderung meniru bahasa yang lebih dominan. Hal ini boleh jadi disebabkan alasan keharusan (demi pendidikan, perolehan pekerjaan yang lebih baik dan pergaulan dengan orang-orang yang lebih dominan), karena kekaguman dan kebanggaan atau juga demi prestise. Seperti kita saksikan bersama bahasa Inggris adalah sebuah bahasa yang sangat dominan bukan saja di wilayah Kerajaan Inggris tetapi juga di seluruh dunia sehingga sebutan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional tidak lagi terlalu sesuai tetapi sebutan English as a Global Language sangat tepat sekarang karena tidak satu negara pun lagi di dunia ini yang tidak menggunakan bahasa Inggris. Banyak pemakai bahasa Indonesia dewasa ini merasa bangga mencampur bahasanya dengan bahasa Inggris. Bahkan nama-nama lembaga pemerintah pun yang sepatutnya menggunakan bahasa Indonesia kini diberi nama dengan bahasa Inggris seperti International Jakarta Stadium, Merdeka Walk di Medan, Presidential Threshold (terminologi politik), Formula E dan lain-lain.

Tidak bisa dipungkiri bahwa status bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dominan di Indonesia dan hampir menyerupai kondisi bahasa Inggris. Meskipun tidak digunakan di setiap bagian wilayah negeri ini tetapi bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pertama (first language) di kota-kota utama seperti Jakarta (sebagai ibu kota), Surabaya, Bandung, Medan, Makasar dll. Siaran TV, film, surat kabar, radio ( hanya pada jadwal tertentu dan dalam durasi yang singkat menggunakan siaran kedaerahan) sinetron, buku-buku pelajaran di sekolah membuat bahasa Indonesia semakin akrab di mata dan telinga penutur bahasa apa saja.

Kesukaan menggunakan bahasa Indonesia diperkuat lagi oleh adanya sedikit rasa rendah diri dan malu menggunakan bahasa daerah di ruang publik dan juga adanya perasaan bahwa penyampaian pikiran dan gagasan terasa lebih mudah (expressive) bila menggunakan bahasa Indonesia ketimbang menggunakan bahasa daerah yang jumlah dan keragaman kosakatanya jauh tertinggal (old fashioned) dibanding kosakata bahasa Indonesia.

Penutup

Gejala pengutamaan bahasa Indonesia dan pengabaian pemakaian bahasa daerah semakin jelas terlihat di berbagai daerah. Penutur bahasa daerah merasa lebih mudah menyampaikan pikiran dan gagasan dengan menggunakan bahasa Indonesia ketimbang menggunakan bahasa daerah yang kosakatanya sangat terbatas dan tidak variatif untuk membicarakan hal-hal terkait teknologi, pendidikan, politik, hukum, ekonomi pertanian dll sebagai disiplin yang memang selalu “on stage”. Di samping itu muncul rasa bangga dan merasa dikagumi oleh audien ketika dia mampu menggunakan bahasa Indonesia.

Kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia dan perasaan minder (inferior) menggunakan bahasa daerah terutama di ruang-ruang publik semakin mendorong keyakinan kita bahwa secara gradual kelihatannya masyarakat Indonesia sedang menuju masyarakat monolingual. Wallahu alam bissawaf.

Penulis adalah Dosen USU.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *