IPK Anjlok, Masih Perlukah KPK?

  • Bagikan
<strong>IPK Anjlok, Masih Perlukah KPK?</strong>

Suramnya masa depan penegakan hukum terhadap korupsi, membuat masyarakat mempertanyakan kembali komitmen pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi di tanah air. Selama jual beli perkara dan kasus di wilayah para penegak hukum masih tumbuh subur, maka putusan hukum akan terabaikan…

Keluarnya laporan Transparancy Internasional yang menyebutkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 mengalami penurunan atau anjlok di angka 34 turun empat poin dari tahun sebelumnya berada di angka 38, bukan hal mengherankan. Ini dibuktikan kurangnya komitmen dan keseriusan pemerintah dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun terakhir ini sehingga korupsi dibiarkan tumbuh dan berkembang.

Faktor utama indeks persepsi korupsi Indonesia turun disebabkan adanya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang sejatinya adalah tonggak pemberantasan korupsi yang membedakannya dengan penegak hukum lainnya. Karena KPK dibentuk pada waktu itu disebabkan komitmen Kejaksaan dan Kepolisian untuk memberantas kasus korupsi dianggap tidak serius oleh masyarakat sehingga perlu dibentuk lembaga independen yang bebas dari intervensi kekusaan.

Di samping itu juga kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi akhir-akhir ini dinilai sangat minim, mulai dari pencegahan hingga penindakan. Bahkan ada asumsi yang berkembang di masyarakat kalau KPK tak luput dari intervensi dan terkesan tebang pilih dalam menangani kasus korupsi.

Ketika fakta berbicara, lalu kita bertanya, kalau komitmen dan kinerja KPK sebagai benteng terakhir dalam pemberantasan korupsi sudah tak bertaji dan bebas intervensi, lalu buat apa lembaga itu dipertahankan? Dikembalikan saja ke Kejaksaan dan Kepolisian, kalau hanya menjadi bebas anggaran negara.

Kalau menengok kebelakang, perjalanan panjang dari komisi antiraswah ketika dibentuk hingga adanya revisi UU KPK sangat berat dan berliku, banyak drama yang tersaji, mulai dari cicak lawan buaya hingga pemberhentian sejumlah ketua dan pimpinan lembaga yang didirikan sebagai benteng terakhir harapan masyarakat untuk memberantas korupsi. Sehingga dibutuhkan nahoda yang tanggguh bahkan bisa disebut “manusia setengah dewa” agar kapal tersebut tetap berlayar hingga sampai tujuan dan tidak tenggelam atau kembali ke dermaga karena tidak bisa menghadapi gelombang yang dasyat.

Kedasyatan gelombang itulah yang saat ini memporakporanda KPK agar tidak segarang sebelumnya, bahkan kalau bisa dilumpuhkan macam ompong agar tidak menjadi duri dan batu sandungan bagi para koruptor untuk terus menggerus uang rakyat. KPK sudah membuktikan bahwa mereka tidak gentar berhadapan dengan siapa pun termasuk penguasa, sehingga satu-satunya cara untuk menghentikan petualangan sang “superbody’ yang canggih itu adalah dengan merevisi regilasi, yakni UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK sehingga tidak bisa bergerak bebas.

Saat ini masyarakat melihat dan menyaksikan bersama dengan mata telanjang pascarevisi, KPK sekarang bah macam ompong hanya mengungkap kasus-kasus kelas teri saja sementara kelas kakap yang merugikan negara miliaran bahkan triliunan tak tersentuh oleh tangan dingin KPK.

KPK didirikan karena ketidakseriusan institusi Kepolisian dan Kejaksaan untuk memberantas korupsi saat itu yang sudah memasuki semua lini sehingga dinilai tidak mampu untuk memberantas korupsi yang dikategorikan sebagai ektraordinery crime atau kejahatan luar biasa. Karena kejahatan korupsi sudah menjadi luar biasa, maka penanganannya juga harus secara luar biasa, sehingga lahirlah KPK tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden.

Lahirnya lembaga KPK membawa angin segar bagi masyarakat di tengah pesimistis akan pemberantasa korupsi oleh penegak hukum yang ada, terlihat kinerjanya cukup bagus, terbukti menurunnya indek korupsi di Indonesia. Di satu sisi masyarakat memberikan apresiasi atas kinerja KPK meskipun terkadang tak lepas dari tebang pilih, tapi di sisi lain para pejabat dan penyelenggara negera merasa terganggung dengan sepak terjang KPK. Misalnya, anggota DPR, pejabat pemerintah, swasta dan lainnya merasa terganggu dengan keberadaan KPK yang terus bergerilya menciduk para pejabat dan penyelenggara negara yang nakal dengan kewenangan yang dimilikinya.

Selain itu juga turunnya indeks persepse korupsi disebabkan promlem negara hukum yang demokratis berakhir pada ungkapan “Sesuai dengan ketentuan dan proses hukum yang berlaku di Indonesia” disebabkan karena penegakan hukumnya tidak berawal dari keadilan. Penafsiran hukum sering menjadi perdebatan dan pembenaran untuk menguntukan para koruptor. Bahkan pasal karet dipertahankan dan sengaja dibuat untuk mengkriminalisasikan elemen masyarakat yang kritis terhadap pemberantasan korupsi, demi memuluskan rencana menggerus uang rakyat.

Hukum dan keadilan sepintas kita lihat seperti searah dan sejalan, tapi kenyataannya tidak demikian. Para penegak hukum memastikan hukum yang ditegakkan telah memenuhi rasa keadilan, terutama yang berkembang di masyarakat. Hukuman para koruptor begitu ringan, dengan alasan sesuai dengan azas dan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga hukum terjebak aturan proses dualisme mengakibatkan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat tidak terpenuhi.

Formalisme penegakan hukum yang berkembang selama ini terhadap para koruptor tidak mencerminkan dan memadai untuk legitimasi negara hukum. Selain adanya godaan yang mengiurkan begitu sulit ditolak para penegak hukum untuk melayani kekuasaan, apalagi didukung oleh subordinasi struktural, akibatnya penegakan hukum cenderung menjauh dari gravitasi keadilan. Suatu upaya hukum dipaksakan dengan ratusan mahar mengesampingkan profesionalisme asal simpul perkara yang merugikan penguasa tidak terusik.

Suramnya masa depan penegakan hukum terhadap korupsi, membuat masyarakat mempertanyakan kembali komitmen pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi di tanah air. Selama jual beli perkara dan kasus di wilayah para penegak hukum masih tumbuh subur, maka putusan hukum akan terabaikan, dan sepanjang makelar kasus berkeliaran dengan leluasa mendekati penegak hukum dengan alasan yang tidak dibenarkan perundang-undangan.

Tentu harapan ke depan harus tetap disematkan, dengan adanya political will dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan diperkuat dengan berintegritas dan moral para pejabat, baik pusat maupun daerah maka korupsi paling tidak bisa diminimalkan. Semoga saja…

Penulis adalah Dosen Tetap, Ka. Prodi D3 Administrasi Peradilan Sekolah Tinggi Ilmu  Hukum Litigasi Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM, Dan Advokat.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

<strong>IPK Anjlok, Masih Perlukah KPK?</strong>

<strong>IPK Anjlok, Masih Perlukah KPK?</strong>

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *