Ultra Petita

  • Bagikan
<strong><em>Ultra Petita</em></strong>

Ultra petita dikeluarkan, dikarenakan dakwaan jaksa penuntut umum kurang sempurna dan sebagai wujud  pengembangan  hukum  progresif  dimana  hakim  bukan hanya sebagai  corong  undang-undang  tetapi  merupakan  corong  keadilan yang  mampu memberikan  putusan  yang  berkualitas  dengan  menemukan  sumber  hukum  yang tepat

Kasus pembunuhan Brigadir Yosua memasuki final. Sidang vonis hakim untuk para terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Ferdy Sambo divonis hukuman mati. Ferdy Sambo divonis hukuman mati oleh hakim. Sebelumnya dia dituntut hukuman penjara seumur hidup. Istrinya, Putri Candrawathi, divonis 20 tahun penjara-jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa yaitu 8 tahun. dihukum 20 tahun penjara.

Adapun Ricky Rizal divonis 13 tahun penjara. Sebelumnya, Ricky dituntut delapan tahun penjara oleh jaksa karena terbukti melakukan perencanaan pembunuhan Brigadir Yosua bersama terdakwa lainnya. Kuat Ma’ruf 15 tahun penjara. Sebelumnya, asisten rumah tangga sekaligus sopir keluarga Sambo itu dituntut hukuman delapan tahun penjara, sama seperti Putri dan Ricky Rizal-ajudan Sambo (vide https://www.bbc.com/indonesia/articles/cek32lj70deo).

Banyak pihak mengatakan putusan vonis yang lebih berat dari tuntutan –disebut putusan ultra-petita– amat sangat jarang terjadi dalam praktik peradilan di Indonesia. Sebaliknya Hakim Jatuhkan Vonis 1,5 Tahun Penjara ke Richard Eliezer (vide https://nasional.tempo.co/read/1691720/breaking-news-hakim-jatuhkan-vonis-15-tahun-penjara-ke-richard-eliezer). Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum sebelumnya yaitu 12 tahun penjara.

Lalu, apa itu sebenarnya ultra petita? Ultra petita berasal dari bahasa latin, yakni ultra yang berarti sangat, sekali, berlebihan, melampaui, ekstrim, dan petita yang artinya permohonan (Muh. Asri Irwan, 2020). Ultra petita adalah melebihi yang diminta (I.P.M. Ranuhandoko, 2008).

Secara umum, ultra petita dapat diartikan sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang diminta.

Dalam bingkai hukum pidana ultra petita adalah penjatuhan putusan oleh majelis hakim atas suatu perkara yang melebihi tuntutan atau dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum atau menjatuhkan putusan terhadap perkara yang tidak diminta oleh Jaksa penuntut umum (Muh. Asri Irwan, 2020).

Ultra petita dikeluarkan, dikarenakan dakwaan jaksa penuntut umum kurang sempurna dan sebagai wujud  pengembangan  hukum  progresif  dimana  hakim  bukan hanya sebagai  corong  undang-undang  tetapi  merupakan  corong  keadilan yang  mampu memberikan  putusan  yang  berkualitas  dengan  menemukan  sumber  hukum  yang tepat (Yagie SP, 2017).

Perihal ultra petita dapat ditemukan dalam Pasal 178 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) dan Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg). Pasal 178 HIR berbunyi, “Ia (hakim) tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat.” Pasal 189 Ayat (3) RBg, berbunyi “Ia dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberikan lebih dari yang dimohon.”

Ultra petitum dilarang sehingga putusan-putusan judec factie (putusan tingkat pertama) yang dianggap melanggar atau keluar dari norma dan asas kepatutan atau kebenaran dengan alasan “salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku”. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (ultrapetitum partium non cognoscitur).

Namun begitu, Muh. Asri Irwan (2020) mengatakan jika mengikuti penafsiran demikian tentunya terkesan menjadi bertolak belakang antara asas ultra petitum dan juga fungsi dasar dari seorang hakim, bahwa di satu sisi hakim diberikan keleluasaan yang seluas-luasnya guna untuk melakukan (ijtihad) penemuan-penemuan hukum akan tetapi di sisi lain hakim dibatasi bahkan dilarang untuk melakukan ijtihad tersebut dengan adanya Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) RBg tersebut.

Untuk maksud itu, Satjipto Rahardjo (2009) memberikan gagasan-gagasan terbaru dalam memaknai hukum, dengan konsep teori hukum progresifnya. Hukum tidak hanya dimaknai secara tekstual saja, tetapi jauh menyelami kontekstualnya. Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Hukum bertugas melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Pemaknaan terhadap asas ultra petitum partium yang terdapat dalam Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) RBg, dapat diberikan pemaknaan lain dengan menggunakan teknik-teknik penemuan hukum guna mendapatkan keadilan yang sesuai dengan keadilan dalam masyarakat.

Salah satu contoh putusan ultra petita dijatuhkan hakim terhadap seorang advokat, Susi Tur Andayani, dalam perkara suap pengurusan sengketa Pilkada Lebak dan Lampung Selatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya, hakim menilai Susi tidak terbukti melakukan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti dakwaan yang diajukan jaksa KPK.

Menurut hakim, dakwaan tersebut tidak tepat untuk Susi karena mengatur tentang hakim yang menerima suap, sedangkan Susi bukanlah hakim yang memutus perkara. Hakim justru menilai Susi terbukti bersalah menyuap hakim sebagaimana Pasal 6 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Hakim juga menilai Susi terbukti melanggar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 Ayat 1 KUHP. Hakim menyatakan Susi terbukti bersalah memberikan suap kepada Ketua MK, Akil Mochtar, sebesar Rp 1 miliar terkait pengurusan sengketa Pilkada Lebak dan Rp 500 juta terkait pengurusan Pilkada Lampung Selatan.

Atas pertimbangan ini, pada 23 Juni 2014, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis lima tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Susi. Mahkamah Agung kemudian memperberat hukuman Susi menjadi tujuh tahun penjara dalam putusan kasasi yang diajukannya (vide https://nasional.kompas.com/read/2022/06/08/03150011/apa-itu-ultra-petita-).

Kasus lain adalah kasus Ir. Basuki Tjahaja Purnama Alias Ahok dengan nomor perkara putusan 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr. Vonis dalam kasus tersebut hakim menjatuhkan putusan di luar dari didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum atau mengabulkan tuntutan Jaksa penuntut umum melebihi dari yang dituntutnya. Ahok dihukum 2 tahun penjara. Sebelumnya jaksa menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun

M. Yasin (2017) mencatat bahwa rujukan majelis hakim dalam memutus perkara adalah surat dakwaan jaksa, bukan surat tuntutan. Penjatuhan hukuman pemidanaan terhadap seorang terdakwa sepenuhnya bergantung pada penilaian dan keyakinan majelis hakim terhadap bukti-bukti dan fakta yang terungkap di persidangan. Sesuai Pasal 193 ayat (1) KUHAP, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya.

Majelis hakim dapat menjatuhkan putusan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum. Putusan majelis hakim yang melebihi tuntutan dari jaksa secara normatif, tidak melanggar hukum acara pidana. Dalam praktiknya, sudah berkali-kali hakim menjatuhkan pidana penjara lebih tinggi dari yang dituntut jaksa. Bahkan selain penjara, majelis hakim beberapa kali menaikkan jumlah denda atau uang pengganti yang harus dibayarkan terdakwa. Pada prinsipnya, majelis hakim bebas dan mandiri menentukan hukuman. Tetapi tetap ada batas-batas yang harus dipatuhi. Misalnya, hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih tinggi daripada ancaman maksimum dalam pasal yang didakwakan dan tidak boleh menjatuhkan jenis pidana yang acuannya tidak ada dalam KUHP atau perundang-undangan lain.

Selain itu, yang perlu dipahami hakim bukanlah sekadar corong undang-undang (la bouche de la loi). Hakim juga menjadi pemberi makna melalui penemuan hukum atau konstruksi hukum. Dalam menegakkan hukum, hakim harus berusaha membuat putusannya adil dan berkeadilan. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Rasa keadilan masyarakat adalah suasana kebatinan masyarakat akan harapan terhadap nilai-nilai keadilan. Inti dari rasa keadilan masyarakat adalah ditegakkannya keadilan (justice enforcement) dalam setiap keputusan hukum, baik di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota KY 2015-2020, Dosen UMSU.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

<strong><em>Ultra Petita</em></strong>

<strong><em>Ultra Petita</em></strong>

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *