JAKARTA (Waspada): Lahirnya Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 9 Mei 2022, merupakan wujud kehadiran Negara dalam upaya memberikan perlindungan dan pemenuhan hak korban atas penanganan dan pemulihan secara menyeluruh. Pemerintah masih terus mengupayakan implementasi UU TPKS ini berjalan efektif melalui kerja sama pemerintah, pemangku kepentingan dan organisasi masyarakat.
“UU TPKS yang telah disahkan oleh DPR ini harus diimplementasikan dengan sungguh-sungguh bagi para pemangku kepentingan guna memastikan perlindungan bagi setiap warga negara, khususnya perempuan dan anak dari ancaman tindak kekerasan seksual,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Ratna Susianawati dalam kegiatan diskusi media
dengan tema ‘Komitmen Pemerintah Tindaklanjuti Delegasi Pasal Turunan UU TPKS’, Jumat (10/2) melalui aplikasi zoom.
Untuk itu, lanjut Ratna, dibutuhkan komitmen dan sinergitas para pemangku kepentingan dalam menyusun peraturan pelaksana UU TPKS, serta menghimpun masukan konstruktif bagi penyusunan rancangan aturan turunan yang dimaksud.
Ratna menjelaskan kesepakatan terkait jumlah peraturan pelaksanaan UU TPKS berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 26 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Presiden Tahun 2023. Semula, terdapat beberapa pasal yang memang menjadi amanat dari UU TPKS yang diangkat dalam 5 Peraturan Pemerintah dan 5 Peraturan Presiden. Namun dalam hasil pembahasan tim pemerintah pada 6 Juni 2022 disepakati penyederhanaan pembentukan aturan turunan menjadi 3 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden
“Pembahasan lintas sektor dengan Kementerian/Lembaga dan stakeholder terkait, pemerintah sepakat melakukan penggabungan atau simplifikasi tanpa mengurangi materi muatan secara substansi dan tidak berdampak pada operasionalisasi UU TPKS. Semangat ini sejalan dengan arahan Presiden Jokowi bahwa yang terpenting dari produk perundang-undangan bukan kuantitas akan tetapi berkualitas, bagaimana peraturan tersebut berdampak, dan memastikan dalam proses pelaksanaan terimplementasi dengan baik,” ujar Ratna.
Ratna mengatakan terkait dengan sinergi lintas Kementerian/Lembaga salah satunya dilakukan melalui penguatan kapasitas SDM serta mekanisme untuk memastikan mereka memiliki kompetensi dan kredibel terutama saat melakukan penanganan terhadap korban. Peningkatan kapasitas dan pelatihan disiapkan dengan metode khusus melalui kurikulum dan modul-modul yang bertujuan meningkatkan pemahaman dasar para Aparat Penegak Hukum (APH) tentang tindak pidana kekerasan seksual.
“Besar harapan, kedepannya tidak ada lagi APH yang menjadikan korban mengalami kekerasan berulang saat proses penanganan dan penyidikan kasus kekerasan. Terkait terobosan hukum, pembenahan mekanisme hukum dilakukan untuk memastikan korban mendapatkan layanan yang cepat, akurat, dan mobilisasi dilakukan oleh tim penanganan kasus bukan oleh korban.
Ratna mengatakan KPPPA memiliki semangat yang luar biasa untuk bisa menjawab tantangan menyelesaikan hal ini.
“Saat ini, kami masih terus berkoordinasi dan komunikasi untuk merampungkan dan mempercepat penyelesaian peraturan turunan UU TPKS yang ditargetkan akan selesai dalam waktu dua tahun setelah diundangkan. Dalam proses, pelaksanaan pencegahan dan penanganan korban kekerasan, tentunya diperlukan adanya sinergi dan koordinasi, mulai dari pemerintah pusat hingga desa, organisasi mitra pembangunan, tokoh masyarakat, dan lainnya,” tutup Ratna. (J02)