Betapapun tantangan begitu besar tetapi bagi seorang pejuang diyakini hal itu tidak seimbang dibanding dengan balasan yang akan mereka terima di kemudian hari. Tentu tidak semua orang mampu mencerna gambaran cita-cita kehidupan pada hari kemudian. Karena itu, tidak jarang ada yang tidak mampu menunggu datangnya balasan yang masih abstrak itu dan akhirnya mereka lebih memilih imbalan jangka pendek yaitu kehidupan duniawi
Setiap kehidupan selalu ditandai perubahan dan munculnya orang-orang yang menjadi penggerak perubahan itu. Lahirnya tokoh-tokoh besar dunia yang kemudian tercatat dalam sejarah akibat kemauan mereka memimpin gerakan perubahan serta memperjuangkannya di tengah berbagai reaksi yang muncul. Hal tersebut terjadi karena motivasi individualisme yang kemudian melahirkan perubahan. Dan bukan perubahan itu yang melahirkan individualisme. Terjadinya perubahan didasarkan kepada dua asas yaitu voluntarisme dan individualisme. Voluntarisme dapat diartikan sikap kesukarelaan bergerak melakukan sesuatu yang baru. Individualisme adalah sikap pribadi berdasar panggilan nurani sendiri untuk melakukan perubahan. Kedua asas ini diangkat dari prinsip yang mengikuti teori heroic determinisme (Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial, 2005: 174).
Keberhasilan mereka memimpin gerakan yang menentukan dalam perjalanan sejarah ditempuh melalui perjuangan yang sungguh-sungguh, terkadang harus menyerempet bahaya. Apabila dirunut kepada perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan tentu tidak bisa dilupakan peranan para pejuang bangsa. Di antara para pejuang bangsa Indonesia yang paling menonjol adalah Sukarno dan Muhammad Hatta tanpa bermaksud mengabaikan nama-nama pejuang lain yang bertebaran di seantero nusantara. Seorang menjadi manusia besar berawal dari kesukarelaan merumuskan sebuah ide perjuangan dan mengkomunikasikannya sehingga menyebar kepada khalayak yang luas. Tampilnya mereka menjadi tokoh pejuang didasarkan pada berbagai faktor.
Pertama, wawasan pengetahuan mereka yang melebihi manusia lainnya. Mungkin mereka tidak menonjol kepintarannya secara teknis keilmuan dalam bidang tertentu akan tetapi mereka memiliki kemampuan merumuskan ide yang dapat dicerna masyarakat luas sehingga yang mampu menarik gerbong massa pendukung. Setelah itu, masyarakat menyadari pentingnya ide itu yang melahirkan etos kejuangan yang kemudian melahirkan sikap kepahlawanan (heroic determinisme).
Kedua, kesungguhan mereka memperjuangkan cita-citanya untuk mewujudkan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dan kekuatan perjuangan itu sering lupa terhadap kepentingannya sendiri sehingga mereka tidak sempat menikmati kenyamanan hidup dari hasil pendidikannya. Dan itulah kemudian yang disebut asketisme intelektual. Prof. Sartono Kartodirjo, melukiskan contoh perjuangan para petani Banten menghadapi kolonial Belanda adalah para pejuang dari kalangan petani lokal sehingga disebut The Peasant Revolt of Banten, 1888.
Sebenarnya mereka bukanlah murni petani tetapi karena kehidupan mereka di desa maka disebut petani padahal mereka adalah para penggiat tarekat di lingkungan pesantren. Nilai kejuangan dalam ajaran tarekat yang tersimpul dalam mujahadah, ijtihad dan jihad, menjadi sumber inspirasi untuk menegakkan ajaran tauhid, ibadah dan akhlak. Lalu terbentuk visi kehidupan yang baru yaitu meyakini bahwa tujuan hidup adalah bertumpu pada dua kegiatan yaitu mendekatkan diri kepada Allah (ibadah) sekaligus, mengelola seluruh bidang kehidupan (ri’ayah). Akibat etos kejuangan yang menjadi landasan terbentuknya visi mereka tentang kehidupan, mengakibatkan mereka terpaksa menunda menikmati kehidupan duniawi guna menuju tercapainya kenikmatan yang abadi yaitu di alam akhirat.
Ketiga, sikap heroic determinisme tidak merupakan jaminan mereka aman dari berbagai ancaman penderitaan. Sebagaimana riwayat perjuangan para nabi-nabi seperti Nabi Yusuf, Nabi Isa, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, dan terakhir Nabi Muhammad SAW semuanya diawali dari penderitaan. Nabi Muhammad bersama sahabatnya diisolasi oleh lawan-lawannya selama di Makkah selama tiga setengah tahun. Sebagai penyejuk hati dan peneguh kepribadian para sahabatnya, beliau bersabda: jangan takut dan dan jangan berduka cita sesungguhnya Allah bersama kita.
Keempat, betapapun tantangan begitu besar tetapi bagi seorang pejuang diyakini hal itu tidak seimbang dibanding dengan balasan yang akan mereka terima di kemudian hari. Tentu tidak semua orang mampu mencerna gambaran cita-cita kehidupan pada hari kemudian. Karena itu, tidak jarang ada yang tidak mampu menunggu datangnya balasan yang masih abstrak itu dan akhirnya mereka lebih memilih imbalan jangka pendek yaitu kehidupan duniawi.
Kelima, tidak jarang sebagian masyarakat tidak mampu menempatkan diri pada setting situasi perjuangan yang didasari asas voluntary dan individulisme itu bahkan mengganggap etos kejuangan sebagai ilusi jangka panjang padahal harus mengorbankan jiwa dan raga. Bahkan bisa jadi, memandang perjuangan orang-orang besar pada masa lalu sekadar ilusi sehingga terkesan adanya keraguan terhadap kebenaran data sejarah masa lalu. Dalam kaitan inilah, dapat dipahami alasan para ulama lebih memilih kelestarian monumen kesejarahan Islam sehingga mereka beralih dari memperjuangkan penyelenggaraan Kongres Khilafah di Mesir dan membentuk Komite Hijaz, melobbi Pemerintah Ibn Saud agar membatalkan rencana penghapusan situs kesejarahan Islam. Hal itu, dapat dilihat sebagai contoh heroic determinisme membela kelestarian ajaran Islam.
Demikianlah contoh memori terhadap seorang manusia besar tidak berakhir sekalipun tokoh dimaksud sudah surut dari perjuangan. Kenangan terhadap mereka terus hidup sepanjang masa.
Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.