Scroll Untuk Membaca

Opini

Dari Pengukuhan Napi, Kisruh Dewan Pers, Hingga Kemelut PWI Sumbar

Catatan Ilham Bintang

Dari Pengukuhan Napi, Kisruh Dewan Pers, Hingga Kemelut PWI Sumbar

SAYA berada di Melbourne, Victoria, Australia, saat kemelut di tubuh pengurus PWI Pusat memuncak. Ketua Umum Atal Depari tetap melantik Basril Basyar sebagai Ketua PWI Sumatera Barat, Jumat ( 13/1).

Kebetulan pas di hari “Friday the 13th” yang sangat terkenal di dunia karena Perang Dunia I & II dimulai pada hari dan tanggal sama. Atal didampingi Ketua Penasihat PWI Pusat Fachry Muhammad yang karena pada dasarnya bukan wartawan melainkan orang iklan, sehingga tidak memahami idealisme pers dan aturan organisasi.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Dari Pengukuhan Napi, Kisruh Dewan Pers, Hingga Kemelut PWI Sumbar

IKLAN

Kemungkinan ia mengira kehadirannya akan memberi legitimasi pada Atal, padahal tidak demikian. Sebab, dia sendiri maupun lembaga Penasehat tidak dipilih langsung oleh Kongres PWI. Seperti halnya Ketua Dewan Kehormatan dan Ketua Umum. Fachry bisa duduk sebagai Ketua Penasihat tahun lalu atas dasar penunjukan yang parameternya tidak terukur.

Pokok masalah adalah pelantikan Ketua PWI Sumatera Barat Basril Basyar karena yang bersangkutan adalah pegawai negeri yang tidak berhak menjadi wartawan anggota PWI.

Sebagai bukti, sepekan sebelum itu Ketua Umum PWI Pusat baru saja memberhentikan anggota PWI Jawa Tengah yang berstatus polisi aktif, Umbaran Wibowo dan mencabut Sertifikat Kompetensi Wartawan (SKW) yang bersangkutan.

PNS, polisi dan TNI dalam aturan organisasi memang PWI tidak bisa menjadi anggota. Lalu, kenapa Basril Basyar mendapat perlakuan istimewa?

Adakah Atal ketakutan lantaran disomasi oleh Basril Basyar yang menuntut segera dilantik? Kalau ini benar, Atal telah gagal menjaga independensi dan kehormatan PWI, juga putusannya sendiri. Buktinya somasi tidak ditanggapi namun diputuskan untuk melantik Basril Basyar. Motif itu masih menjadi bahan perdebatan di internal PWI maupun masyarakat luas hingga hari ini.

“Atal melantik pegawai negeri bukan anggota PWI,” tulis salah satu judul berita yang saya ikuti. Wartawan senior yang merupakan tenaga ahli Dewan Pers, Marah Sakti Siregar, sampai mengungkapkan kegeramannya dan mengecam Ketua Umum PWI.

Saya mengikuti perdebatan sengit itu di benua Australia. Tentu ada banyak pertanyaan masuk ke saluran pribadi WhatsApp ( WA) dari banyak pihak.

Ada juga yang mempertanyakan sikap kaku DK PWI seakan hanya berlaku untuk Basril Basyar. Tidak memberi kesempatan yang bersangkutan mengklarifikasi kesalahannya. Tuntutan itu wajar dalam kasus normal.

Berbeda dengan kasus Basril Basyar. Berkali-kali sudah tertangkap tangan berbohong, aktif melakukan pembelaan melalui surat terbuka, somasi dan ancaman membawa kasusnya ke jalur hukum.

Baik saya coba terangkan secara singkat duduk perkara Basril Basyar berikut ini. Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI ) memang menilai tidak sah pelantikan Basril Basyar sebagai Ketua PWI Sumatera Barat pada tanggal 13 Januari 2023 meski dihadiri Gubernur Sumbar.

Basril Basyar diberhentikan DK-PWI sebagai anggota PWI karena masih berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tanggal 6 Januari 2023. Hal itu melanggar Pasal 16 ayat 2 Kode Perilaku Wartawan yang melarang PNS menjadi anggota PWI kecuali di lembaga pemerintah yang terkait dengan pekerjaan jurnalistik seperti LKBN Antara, LPP TVRI dan LPP RRI. Basril Basyar adalah dosen di Universitas Andalas Padang dengan status PNS.

Sebelumnya, yang bersangkutan telah diberikan kesempatan oleh putusan Rapat Pleno PWI Pusat untuk mengurus pengunduran diri atau pensiun dini namun hal itu tidak dilakukan dengan serius sehingga sampai saat dilantik pun masih tetap berstatus PNS.

“Kalau Ketua Umum tetap nekat melantik biarkan Kongres nanti yang akan meminta pertanggungjawaban namun secara moral dan etika baik yang melantik dan tidak dilantik sama sama melanggar,” kata Sekretaris DK Sasongko Tedjo dalam siaran pers DK-PWI Kamis ( 19/1).

Sesuai kewenangannya, DK PWI berhak memutuskan dan memberikan sanksi terkait pelanggaran PD PRT, Kode Etik Jurnalistik dan Kode Perilaku Wartawan. Kewenangan iti tertulis di dalam Pasal 26 ayat 1 Kode Perilaku Wartawan yang menyebutkan DK adalah satu satunya lembaga yang berhak memutuskan terjadinya pelanggaran.

Sedangkan pelantikan Basril Basyar sebagai Ketua PWI Sumbar oleh Ketum PWI Pusat sama sekali tidak didasari satu pun pasal dalam aturan organisasi manapun di PWI. Alasan yang disebutkan Fachry Muhammad sebagaimana dikutip media menyebut kan itu adalah keputusan rapat pleno PWI tanggal 6 Januari. Padahal, rapat itu dihadiri oleh Sasongko Tedjo, Raja Pane, dan Asro Kamal Rokan dari DK-PWI yang menolak keputusan itu. Fachry jelas tidak jujur karena tidak menyebutkan ada penolakan DK PWI dalam rapat.

Narapidana pun pernah dikukuhkan

Pelantikan Basril Basyar semakin menambah daftar pelanggaran dan penyalahgunaan kedudukan oleh Atal Depari sebagai Ketua Umum PWI Pusat (2018-2023). Atal yang terpilih di Kongres PWI Solo tahun 2018 hanya selisih tiga suara dari pesaingnya, pernah melakukan pelanggaran fatal di awal kepengurusannya. Yaitu mengukuhkan seorang narapidana menjadi ketua dewan penasehat di sebuah cabang PWI.

Berikutnya, yang tak kurang fatalnya, yaitu membenarkan tindakan pemidanaan anggota PWI yang mengkritik pengurus. Lupa pada semangat persatuan yang mendorong pembentukan PWI di tahun 1946.

Lainnya tidak berupaya menyelamatkan gedung PWI Sulsel yang disegel oleh Satpol PP disita Pemprov Sulsel akibat komersialisasi gedung bersejarah itu tanpa hak oleh Ketua Bidang Organisasi PWI, Zulkifli Gani Ottoh di masa menjadi Ketua PWI Sulsel.

Atas perbuatan itu yang kelak terungkap, DK PWI telah menjatuhkan sanksi teguran keras kepada Sdr. Atal Depari, dan skorsing satu tahun kepada Sdr. Zulkifli Gani Ottoh.

Satu lagi. Atal juga membuat blunder dalam pembahasan pengganti Ketua Dewan Pers Prof. Azyumardi Azra yang wafat September lalu. Menurut informasi Atal memaksakan perubahan Statuta Dewan Pers untuk dapat memasukkan orang luar menjadi pengganti Ketua DP.

Syukurlah rencana itu tidak terlaksana. Namun, dalam komposisi pengurus baru DP sekarang PWI kehilangan satu kursi atas nama Prof Rajab Ritonga karena ulah Atal yang beberapa kali mengoreksi surat persetujuan Prof Rajab Ritonga sebagai unsur tokoh masyarakat.

Saya menulis catatan ini agar beberapa peristiwa pengambilan keputusan oleh Ketum PWI yang merugikan organisasi dapat dihentikan. Penilaian DK PWI ini perlu disebarluaskan kepada masyarakat luas dan para mitra kerja PWI agar teliti dan waspada juga demi menjaga harkat dan martabat organisasi wartawan terbesar dan tertua di Indonesia itu.

Sebagian catatan kelam pengurus PWI termasuk DK PWI periode 2018-2023 ini tentu akan dipertanggungjawabkan dalam Kongres PWI 2023 yang akan dilangsungkan akhir tahun. Semoga PWI masih dapat diselamatkan. (Melbourne, 14 Januari 2023)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE