Selama dua dekade terakhir, kondisi kualitas udara di Indonesia semakin memburuk. 91 Persen penduduk Indonesia menetap di wilayah yang memiliki tingkat polusi udara melebihi batas aman yang ditetapkan WHO. Apabila penduduk Indonesia terpapar dalam jangka panjang karena berdampak negatif terhadap kesehatan masyaraka
Bumi merupakan ciptaan Allah dengan sedemikian rupa sehingga cocok dihuni oleh manusia, iklim yang sesuai telah menyuburkan tanaman untuk dimanfaatkan dan berdampak positif bagi kesehatan manusia. Bumi merupakan titipan Allah yang harus dijaga. Dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 11 disebutkan bahwa “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi”. Dalil ini menunjukkan suatu kewajiban bagi manusia untuk menjaga bumi.
Pemanasan global adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata udara, atmosfer, laut, dan daratan bumi yang disebabkan oleh gas rumah kaca. Bumi merupakan sebuah planet yang berjarak sekitar 147,1 juta hingga 152,1 juta km dari matahari. Cahaya matahari dipancarkan ke bumi dan dipantulkan kembali ke atas, sehingga membuat suhu bumi yang sesuai untuk penghuninya.
Akibat aktivitas manusia yang melepaskan emisi gas-gas menimbulkan gas rumah kaca di atmosfer. Menurut Cambridge dictionary, emisi adalah sejumlah gas, panas, cahaya dan lain-lain yang dikirimkan keluar. Berdasarkan PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengertian emisi adalah pencemar udara yang dihasilkan dari kegiatan manusia yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara, mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi pencemaran udara.
Gas-gas rumah kaca di antaranya karbondioksida (CO2), belerangdioksida (SO2), nitrogenmonoksida (NO), nitrogendioksida (NO2), gas metana (CH4). Efek gas rumah kaca (GRK) yang menutupi bumi bagaikan sebuah mobil yang terjemur di bawah terik matahari dan tertutup seluruh pintu kacanya, panas yang ada dalam mobil terperangkap di dalam.
Bumi juga dilindungi oleh lapisan ozon yang akan melindunginya dari sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari. Lagi-lagi karena ulah manusia yang menggunakan peralatan dengan mengeluarkan gas CFC(Chloroflourocarbon) yang akan merusak lapisan ozon sehingga sinar ultraviolet langsung masuk ke bumi melalui celah-celah lapisan ozon yang rusak. Radiasi ultraviolet ini akan sangat berbahaya bagi kesehatan.
Sementara gas rumah kaca akan menyebabkan cahaya matahari yang masuk ke bumi terpantulkan ulang kembali ke bumi, sehingga menyebabkan sinar matahari terperangkap di dalam bumi, oleh karena itu suhu bumi semakin meningkat.
Salah satu penyumbang GRK terbesar adalah CO2 yaitu sebesar 94%. Menurut laporan inventarisasi emisi GRK tahun 2020, emisi GRK sektor energi pada tahun 2019 yaitu 638.452 Gg CO2e. Kategori penyumbang emisi terbesar secara berturut-turut antara lain industri produsen energi (43,83%), transportasi (24,64%), industri manufaktur dan konstruksi (21,46%), serta sektor lainnya (4,13%). Di dalam kategori industri produsen energi, terdapat subkategori pembangkit listrik sebagai penghasil emisi terbesar.
Menurut Winahyu (2020) dalam Darajati (2021), lockdown selama pandemi Covid-19 telah memberikan dampak positif dengan menurunkan emisi CO2 sebesar 7%. Namun selesai pandemi, aktivitas emisi CO2 kembali meningkat.
Data UNEP (United Nations Environment Programme) tahun 2021 menunjukkan bahwa emisi karbondioksida diperkirakan mencapai 33 gigaton. Jika semua gas rumah kaca lainnya diperhitungkan, emisi tahunan akan mendekati 60 GtCO2e. Jadi, agar dunia memiliki peluang mencapai target 1,5°C, dunia perlu mengurangi hampir separuh emisi gas rumah kaca global. Sementara untuk mencapai target 2°C, kebutuhannya lebih rendah, emisi harus turun 13 GtCO2e per tahun hingga 2030.
Emisi metana merupakan penyumbang pemanasan global terbesar kedua. Gas tersebut lebih dari 80 kali lipat lebih kuat memicu pemanasan global dibanding karbondioksida dalam periode 20 tahun. Metana juga memiliki masa hidup yang lebih pendek di atmosfer – hanya dua belas tahun, dibanding CO2 yang mencapai ratusan tahun – sehingga pemotongan emisi metana akan membatasi kenaikan suhu lebih cepat dibanding pengurangan emisi karbon dioksida.
Menurut Air Quality Life Index (2019), selama dua dekade terkahir, kondisi kualitas udara di Indonesia semakin memburuk. 91 Persen penduduk Indonesia menetap di wilayah yang memiliki tingkat polusi udara melebihi batas aman yang ditetapkan World Health Organization (WHO), kondisi ini akan memprihatinkan apabila penduduk Indonesia terpapar dalam jangka panjang karena berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat.
Mengurangi CO2 berarti mengurangi terbentuknya gas rumah kaca. Usaha menguranginya adalah dengan mengurangi emisi gas CO2 dan menambah penyerap CO2 agar tidak terbang ke atmosfer. Salah satu penyerap CO2 adalah pepohonan.
Langkah yang diambil pemerintah Indonesia melalui rencana pemberlakuan pajak karbon pada tahun 2022 dan pelarangan penjualan kendaraan berbahan bakar fosil pada tahun 2040 menjadi hal yang dapat dikatakan tepat dalam menentukan sikap serta bentuk komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi CO2 di tahun 2030. Bagaimana dengan pepohonan? Berapa luas hutan dunia sekarang? Mampukah hutan dunia mencegah terbentuknya gas rumah kaca?
Berdasarkan our world in data, luas hutan dunia telah hilang sepertiganya sejak zaman es. Saat ini hutan mencakup lebih dari sepertiga (38%) dari luas lahan yang dapat dihuni. Ini adalah sekitar seperempat (26%) dari total luas daratan. Luas daratan adalah 148,3 juta km2. Dengan demikian luas hutan dunia adalah 38,56 juta km2.
Menurut penelitian yang dilakukan di kota Bogor pada tahun 2005, diperoleh bahwa tanaman tanjung dapat menyerap CO2 sebesar 1,622 kg CO2 per hari, mangga dapat menyerap 1,247 kg CO2 per hari, lalu sawo duren menyerap sebesar 0,648 kg per hari, kenari 0,363 kg CO2 per hari dan jati 0,298 kg CO2 per hari. Nilai daya serap ini didasarkan pada informasi intensitas cahaya di Kota Bogor. Untuk daya serap CO2 bersih per hektar dengan jarak tanam 5m x 5m, tanjung dapat menyerap CO2 sebesar 648,978 kg CO2 per hari.
Mangga 498,657 kg CO2 per hari, sawo duren 259,405 kg CO2 per hari, kenari 225,418 kg CO2 per hari dan jati 119,215 kg CO2 per hari. Pada jarak tanam yang ideal, tanjung hanya dapat menyerap 111,949 kg CO2 per hari, begitu juga dengan mangga, daya serapnya turun menjadi 194,476 kg CO2 per hari. Sawo duren yang merupakan tanaman dengan luas tajuk yang lebat, daya serapnya turun menjadi 64,851 kg per hari. Kenari yang memiliki jarak tanam 14m x 14m hanya mampu menyerap CO2 sebesar 28,741 kg per hari kg per hari, sedangkan jati yang memiliki jarak tanam 12m x 12m mampu menyerap CO2 sebesar 20,565 kg per hari.
Berdasarkan penelitian di atas, bila tanaman tanjung ditanam di seluruh dunia akan menyerap CO2 sebesar 2502,46 ton per hari dan 913.397,6 ton per tahun. Dengan demikian, jika emisi gas rumah kaca tidak dikurangi, maka dibutuhkan hutan lebih kurang 36 kali lipat dari luas hutan sekarang. Tentu saja itu adalah hal yang mustahil disebabkan melebihi luas daratan di bumi. Oleh karena itu, mengurangi penggunaan bahan bakar yang menimbulkan emisi adalah cara terbaik untuk mengurangi terbentuknya gas rumah kaca yang akan mencegah timbulnya pemanasan global.
Penulis adalah Mahasiswa MKM FK Universitas Syiah Kuala.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.