Besaran gaji Rp72 juta per bulan untuk hakim agung serta fasilitas lainnya yang mengikuti jabatan, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang hakim agung dan keluarganya. Tapi ironisnya, meskipun setinggi apa pun gaji dan fasilitas yang diberikan oleh negara ternyata tidak membuat hakim agung maupun hakim bebas dari kasus korupsi dan praktek suap menyuap perkara di lingkungan peradilan
Ketika Mahkamah Agung berusaha bangkit dengan membangun citra positif di masyarakat dari keterpurukan akibat penetapan tersanka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Hakim Agung nonaktif Sudrajat Dimiyati (SD) pada 22 September 2022 lalu atas kasus suap. Beberapa waktu lalu, KPK kembali lagi menetapkan seorang Hakim Agung berinisial GS sebagai tersangka terkait pengembangan kasus yang menjerat Sudrajat Dimiyati.
Sehingga niat baik lembaga yudisial itu untuk bangkit terasa berat sekali setelah bertubi-tubi ditimpa musibah. Bagaimana mungkin dua hakim Hakim Agung yang sejatinya “maha agung” ditetapkan jadi tersangka selang waktu dua bulan dalam kasus yang sama.
Seorang Hakim Agung yang seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi hakim-hakim di bawahnya, memegang teguh integritas dan nilai-nilai agama dan moral justru sebaliknya mengingkari sehingga terjerat kasus suap dengan mencoreng institusi, nama baik MA sebagai benteng terakhir keadilan di negeri ini, walaupun sebenarnya ini bukan hal baru di dunia peradilan kita selama ini.
Dalam konstitusi jelas tersurat bahwa seorang hakim agung harus memiliki integritas yang tidak tercela, bersifat adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Pasal 24A ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan “Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum,”. Ketika integritas, adil, profesional seorang hakim agung tak lagi dijalankan sesuai amanat konstitusi, tentu akan melahirkan perilaku koruptif, hedonis, tercela dan menyalahi sumpah jabatan.
Hakim Agung juga manusia biasa tak lepas dari kekhilafan dan kesalahan. Namun apabila hal itu berkaitan dengan perilaku korupsi, tentu kekhilafan dan kesalahan tersebut tak bisa ditolerir mengingat jabatan hakim agung sangat menjanjikan dan merupakan puncak karir semua hakim. Sehingga faslitias dan penghasilan hakim agung sangat prestisiur.
Berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2021 tentang Peraturan Pemerintah tentang perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Disebutkan bahwa jabatan Ketua MA dan Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat penghasilan Rp121 juta, sedangkan wakilnya Rp82 juta, Ketua Muda MA mendapat gaji Rp78 juta sementara hakim agung/hakim konstitusi sebesar Rp72 juta per bulan.
Besaran gaji Rp72 juta per bulan untuk hakim agung serta fasilitas lainnya yang mengikuti jabatan, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang hakim agung dan keluarganya. Tapi ironisnya, meskipun setinggi apa pun gaji dan fasilitas yang diberikan oleh negara ternyata tidak membuat hakim agung maupun hakim bebas dari kasus korupsi dan praktek suap menyuap perkara di lingkungan peradilan.
Pengawasan Hakim
Berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sama-sama berwenang menjalankan fungsi pengawasan hakim di badan peradilan, namun bentuk pengawasan yang dilakukan keduanya berbeda. Di mana Mahkamah Agung berwenang menjalankan fungsi pengawasan internal, sementara Komisi Yudisial menjalankan fungsi pengawasan secara eksternal.
Sebagai pengawasan internal MA berwenang melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan terhadap semua badan peradilan di bawah MA dan pengawasan internal atas tingkah laku hakim. Hal ini berdarkan Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman berbunyi:
(1) Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. (3) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Sedangkan fungsi pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial, dalam menjalankan fungsi pengawasan diatur di Pasal 40 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan (1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial dan ayat (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Dengan adanya pengawasan dari dua lembaga negara terhadap hakim, seharusnya kasus-kasus hakim yang melanggar kode etik bisa diminimalisir dengan adanya kerja sama. Tapi dalam penerapannya di lapangan kadang-kadang masalah teknis yudisial menjadi perdebatan di antara MA dan KY, akibatnya ketika ada hakim yang diusulakan KY untuk dijatuhi sanksi karena melanggar kode etik, terkadang tidak ditindakjanjuti oleh MA karena terkait masalah teknik yuridis.
Rektur Hakim Agung
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang independen yang diberikan kewenangan untuk melakukan rektutmen hakim agung berdasarkan Pasal 13 huruf a UU N0.18 Tahun 2011 perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dimana Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim adhoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
Tentu dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, KY harus lebih selektif lagi ke depan dalam melakukan proses seleksi hakim agung, mulai dari persyaratan hingga materi tes, terlebih setelah masuk ke DPR harus benar-benar selektif sehingga menghasilkan hakim agung yang berkualitas dengan integritas tinggi.
Hal ini tidak berlebihan mengingat saat ini sudah ada dua hakim agung jadi tersangka di KPK atas dugaan kasus suap, sehingga perlu memutus mata rantai praktek suap menyuap kasus yang melibatkan hakim. Apakah itu hakim terlebih hakim agung yang berada di bahwa Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan di negeri ini.
Untuk menghindari hal-hal tersebut, tentu diperlukan hakim-hakim agung yang tangguh dan berkarakter guna meningkapkan kepercayaan rakyat kepada hukum dan dunia peradilan di Indonesia.
Penulis adalah Dosen Tetap Dan Ka. Prodi D3 Administrasi Peradilan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.