MEDAN (Waspada): Testimoni Ismail Bolong yang berisi muatan tuduhan dimaknai bukan saja menyerang marwah Kabareskrim Polri tapi juga marwah Polri. “Hal krusial dalam penyebarluasan tuduhan melalui pentransimisian, pendistribusian atau membuat dapat diaksesnya dokumen elekteronik yang ditujukan untuk mendegradasi trust masyarakat terhadap instrusi Polri,” ujar dosen pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Dr Alpi Shari, SH, M.Hum(foto), di Medan, Rabu (9/11).
Menurutnya, penyebarluasan juga ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan entitas Polri dan masyarakat. “Padahal kita menilai institusi ini tengah terus berupaya mentrasformasi Polri yang PRESISI dan soliditas Polri dalam rangka terpeliharanya Kamtibmas dan Kamdagri,” ujar dosen yang pernah memberikan keterangan ahli di Pengadilan terkait perbuatan menyerang kehormatan terhadap salah satu institusi negara di bidang keamanan dengan maksud menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.
Dia menguraikan, perbuatan pihak yang menyebarkan tuduhan dimaksud tentunya mengetahui dan menghedaki akibat dari penyebarluasan kontens dimaksud. “Di dalam hukum pidana terhadap pelaku yang menyebarluaskan tuduhan dapat diminta pertanggungjawaban pidana walaupun di dalamnya terdapat rechtsdwaling atau kesesatan hukum,” sebutnya.
Artinya, sambung Dr Alpi, suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini tidak menghapuskan tuntutan pidana sebagaimana adagium ignorantia leges excutas neminem yang berarti ketidaktahuan akan hukum bukan merupakan alasan pemaaf.
“Perlu kiranya kita memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 yang memperluas makna antar golongan sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 tahun 2016 perubahan atas UURI No.11 tahun 2008 tentang ITE,” urainya.
Dijelaskan, dalam putusan Mahkamah dipertegas bahwa istilah “antar golongan” tidak hanya meliputi suku, agama dan ras melainkan semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama dan ras.
Perbuatan (strafbarhandeling) pelaku yang memposting dan/atau menyebarkan tuduhan bukan merupakan bentuk check and balance kritik terhadap profesionalisme Polri dalam proses penegakan hukum namun memiliki tujuan untuk menimbulkan ketidakpercayaan di tengah masyarakat terhadap institusi Polri sebagai actus reus.
“Itulah perbuatan melawan hukum tanpa hak, bahwa tanpa hak dilakukan secara melawan hukum sebagaimana melekat pada ajaran sifat melawan hukum formil, artinya tanpa hak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum objektif, perbuatan yang dilakukan tanpa hak yang ada pada diri seseorang atau perbuatan yang dilakukan tanpa kewenangan,” ujarnya.
Namun, dia melanjutkan, perbuatan itu tetap dilakukan sehingga terhadap perbuatan itu diancam dan dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan pada Memorie Van Toelichting bahwa ”contra legem facit qui id facit quod lex prohibit; in fraudem vero qui, salvis verbis legis, sententiam ejus circumuenit”.
Terstimoni Ismail Bolong sudah diklarifikasi dan dinyatakan adalah video hoax atau tidak benar atau bohong dan menyesatkan khalayak masyarakat sehingga perbuatan pihak yang menyebarkan tuduhan merupakan kualifikasi menyerang marwah institsui Polri dengan maksud menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
“Polri harus tetap istiqamah dan solid dalam menghadapi berbagai tantangan dan gangguan yang mencoba mendegradasi Brand Integrity Polri dengan membangun Brand Image publik secara negative terhadap institusi Polri sebagai pilar Kamtibmas dan Kamdagri.dalam konteks negara huku,” katanya.(m05/A)