Asas Nemo Judex in Causa Sua hanya berlaku bagi hakim secara individu, tidak berlaku bagi hakim secara majelis atau pun kelembagaan. Pendapat ini terbantahkan ketika dalam banyak kasus hakim Mahkamah memiliki kepentingan hukum secara langsung norma hukum yang diuji di mahkamah
Pekan lalu hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak pengujian formil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam pengujian materiil, Mahkamah memutuskan tidak dapat menerima permohonan Allan Fatchan Gani Wardhana, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dan Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII (https://www.mkri.id/).
Secara secara substansi UU MK tersebut mengatur masa jabatan hakim kontitusi sebelumnya masa jabatan 5 tahun menjadi 15 tahun/pensiun di usia 70 tahun. Selain itu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan perkara uji materi UU No.7 Tahun 2020 tentang MK dalam perkara nomor 56/PUU-XX/2022. MK menyatakan Pasal 27A ayat (2) huruf b terkait keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dari satu orang anggota Komisi Yudisial bertentangan dengan konstitusi (Republika, 21 Juni 2022).
Sejak dibentuknya MK di Indonesia pada 2003 hingga dewasa ini, Hakim Konstitusi telah banyak mengeluarkan putusan yang terkait dengan asas nemo judex in causa sua. Putusan yang dikeluarkan tersebut menimbulkan pro-kontra dari pihak pencari keadilan, karena putusan yang melanggar asas nemo judex in causa sua tersebut dirasa tidak adil.
Meski demikian kata Sudikno Mertokusumo (2006) jika merujuk kepada asas hukum res judicata pro veritate habetur (apa yang diputus hakim harus dianggap benar) maka putusan tersebut harus dihormati.
Karena itu perlu dipahami tulisan ini tidak bermaksud mengoreksi putusan tersebut, melainkan kaji ulang penerapan asas dalam hukum Nemo Judex In Causa Sua. Nemo Judex In Causa Sua bermakna tidak boleh membuat putusan-putusan yang menyangkut kepentingannya sendiri baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Secara khusus asas nemo judex in causa sua atau nemo judex indoneus in propria causa menyatakan bahwa hakim tidak memeriksa dan memutus atau menjadi hakim dalam hal-hal yang terkait dengan dirinya. Prinsipnya tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri. Asas ini dicetuskan oleh Sir Edward Coke pada abad ke-17.
Asas hukum itu merupakan organ vital dan bersifat fundamental dalam anatomi hukum. Keberadaannya akan memengaruhi seluruh aktivitas bekerjanya hukum, mulai dari penggalian nilai, tuntutan etis, sampai dengan proses penjiwaannya dalam perbuatan hukum (law making process), penerapan hukum (law of implementation), dan penegakan hukum (law enforcement) (Fathurroman, dkk, 2004).
MK dapat dikatakan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional. Mahkamah bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Mahkamah juga berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat (Titik Triwulan Tutik, 2006).
Asas peradilan yang terdapat di MK di antaranya yakni asas persamaan hukum (equality before the law), asas terbuka untuk umum dan perkara dilaksanakan dengan cepat. Masih ada lain yakni asas independensi dan imparsialitas.
Independensi dan imparsial di tubuh mahkamah melahirkan sikap bahwa hakim dilarang untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri atau biasa dikenal dengan asas Nemo Judex in Causa Sua.
Keberadaaan asas nemo judex in causa sua, memberikan pilihan kepada Mahkamah untuk mematuhi sebuah asas peradilan atau menjamin hak konstitusional. Ketika Hakim Konstitusi menangani perkara yang berkaitan dengan Mahkamah, tentunya akan ada kepentingan-kepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara etis asas Nemo Judex in Causa Sua adalah asas yang harus diterapkan dalam setiap lembaga peradilan.
Mengenyampingkan asas Nemo Judex in Causa Sua mengakibatkan suatu lembaga peradilan bersifat tidak Independen dan Imparsial sebagaimana konsep sebuah negara hukum.
Untuk itu diperlukan pembaharuan pengawasan terhadap perilaku hakim Mahkamah dan pengalihan kewenangan Judicial Review kepada “Panel Ahli”.
Panel Ahli diperlukan apabila perkara yang diperiksa oleh Mahkamah berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. Dengan begitu, asas Nemo Judex in Causa Sua dapat senantiasa diterapkan dalam lembaga peradilan, demi tegaknya peradilan yang Independen dan Imparsial.
Karena itu, untuk tegaknya asas Nemo Judex in Causa Sua perlu dilakukan Amandemen UUD 1945 terkait pembaharuan pengawasan hakim (konstitusi) dan pengalihan kewenangan Judicial Review oleh Mahkamah kepada Panel Ahli.
Konflik Asas Hukum
Selain asas Nemo Judex in Causa Sua terdapat juga asas ius curia novit. Asas ini adalah asas yang mewajibkan mahkamah untuk menerima setiap perkara yang diajukan di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Ius curia novit adalah prinsip yang memandang bahwa “hakim tahu akan hukumnya” (the court knows the law). Karena itu, kewajiban seorang hakimlah yang menentukan hukum apa yang harus diberlakukan terhadap kasus tertentu dan bagaimana penerapannya.
Selama masih dalam batas ketentuan kewenangan konstitusional mahkamah wajib hukumnya untuk memeriksa dan dilarang untuk menolak perkara karena alasan tidak terdapatnya hukum. Ius curia novit berbicara terkait perlindungan hak konstitusional warga negara yang secara aktual maupun potensial direnggut atas keberlakuan suatu undang-undang dan akan diajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (Charlie Rudyat, 2013).
Berlakunya asas Ius Curia Novit dapat mengenyampingkan asas hukum acara Nemo Judex in Causa Sua. Asas Ius Curia Novit membenarkan mahkamah dapat mengecualikan Nemo Judex in Causa Sua demi tegaknya konstitusi melalui pemberian kewenangan kepada Mahkamah.
Asas hukum Nemo Judex in Causa Sua tidak dapat diterapkan disegala lini proses peradilan hukum. Ada beberapa alasan pandangan ini, yakni: Pertama, bersandar dari kewenangannya mahkamah memiliki kewajiban menyelesaikan permasalahan konstitusional, jika asas ini diterapkan maka ditafsirkan akan menghalangi Mahkamah memutus perkara ini, karena menyangkut imparsialitas mahkamah.
Kedua, Lembaga peradilan adalah jalan terakhir bagi para pencari keadilan (justibelen) mencari keadilan, bilamana mahkamah tidak memutus perkara ini maka sudah dipastikan perkara ini tidak memiliki kejelasan dan tidak memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan. Ketiga, Imparsialitas hakim harus diartikan adanya kepentingan baik secara langsung ataupun tidak langsung hakim terhadap perkara (T. Lailam, 2016).
Selain itu, asas Nemo Judex in Causa Sua hanya berlaku bagi hakim secara individu, tidak berlaku bagi hakim secara majelis atau pun kelembagaan.
Masalahnya pendapat ini terbantahkan ketika dalam banyak kasus dapat dilihat bahwa hakim Mahkamah memiliki kepentingan hukum secara langsung norma hukum yang diuji di mahkamah.
Perilaku negarawan hakim konstitusi senantiasa diuji ketika dihadapkan pada pengujian perkara benturan kepentingan (conflict of interest) Mahkamah? Sejarah telah dan akan terus mencatat perilaku hakim konstitusi baik dimasa lalu maupun masa mendatang.
Penulis adalah Founder Ethics Care, Anggota Komisi Yudisial (KY) 2015-2020, Dosen UMSU.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.