Berbicara penguatan tata kelola lembaga di era digital maka harus berkaitan dengan sistem digital yang tidak bisa dielakkan. Untuk itulah, pengurus lembaga zakat hendaknya diisi oleh para profesional di bidangnya
Zakat merupakan salah satu instrumen keuangan publik yang penting sekaligus strategis dalam membangun ekonomi dan kesejahteraan umat. Betapa tidak, jejak pembangunan ekonomi umat sejak dalam rentang sejarah masa lalu hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari peran penting dan strategis zakat.
Disebut penting, sebab zakat adalah pilar (baca: rukun) Islam yang menjadi pembeda antara Islam dan ajaran agama lain yang berdimensi kemanusiaan. Dengan demikian, wujud dari keislaman adalah kemanusiaan dengan cara meretas kemiskinan dan kebodohan dan seterusnya.
Disebut strategis sebab zakat, selain berfungsi untuk mencegah terjadinya konsentrasi kekayaan di kalangan elit ekonomi (kapitalis) saja, zakat juga berfungsi sebagai pemberdayaan ekonomi yang mampu mengatasi berbagai persoalan kemiskinan, kebodohan, pengangguran, serta ketidakmandirian dan seterusnya.
Menariknya, dalam konteks Indonesia, peran strategis zakat diperkuat oleh budaya memberi bangsa Indonesia yang terpelihara sejak dahulu hingga saat ini. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Charities Aid Foundations (CAF) dalam A Global Pandemic Special Report 2021, bahwa Indonesia (Tahun 2021) kembali dikukuhkan sebagai negara paling dermawan di Dunia dengan skor 69% mengungguli beberapa negara di bawahnya yaitu Nigeria (52%), Australia (49%), dan Slandia Baru (47%).
Namun, peran penting, strategis dan potensi yang besar belum selaras dengan harapan. Pengelolaan zakat di Indonesia masih menyisakan berbagai persoalan dari mulai pengumpulan, pengelolaan dan pendayagunaan zakat yang belum maksimal.
Pengelolaan zakat semakin mendapatkan tantangan di era dimana perkembangan teknologi dan informasi yang terus saja melaju tiada henti. Karenanya, diperlukan revitalisasi kelembagaan zakat secara terus menerus dan juga tiada henti dalam upaya mewujudkan tujuan zakat itu sendiri.
Persoalan Dasar Zakat
Persoalan “klasik” pengelolaan zakat salah satunya adalah kepercayaan terhadap lembaga pengelolaan zakat seperti Badan Amil Zakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sumber informasi, misalnya, pada survei tahun 2020, bahwa 37.13% muzaki cenderung untuk berdonasi melalui masjid dan 24.22% melalui lembaga atau yayasan.
Sedangkan pembayaran ke mustahik langsung sebesar 39,52%. Hal ini tentu berdampak terhadap pengumpulan dana zakat. Dari sisi pengumpulan misalnya, pengumpulan zakat nasional baru mencapai pada kisaran angka Rp12,5 T atau hanya 3,8% dari potensi zakat. Tentu masih sangat minim bukan?
Persoalan mendasar lain dalam pengelolaan zakat juga terkait dengan literasi atau pemahaman zakat. Umat Islam, baik secara konsepsi fiqhnya maupun teknis pelaksanaannya masih bersifat tradisonal.
Selain, tingkat kesadaran umat yang belum maksminal, bagi sebagian umat, yang penting adalah membayar zakat tanpa memperdulikan kegunaan dan dampak luasnya. Maka diperlukan reinterpretasi fiqh zakat yang dapat mengakomodir perkembangan sesuai dengan kemaslahatan umat.
Interpretasi kitab-kitab fiqh klasik penting dilakukan untuk mengakomodir perkembangan sektor industri dan pelayanan jasa sebagai bentuk yang penghasilannya wajib dikeluarkan zakatnya.
Demikian juga perluasan interpretasi terhadap delapan asnaf penerima zakat dengan melihat berbagai permasalahan sosial seperti ashnaf budak (riqab) dengan memasukkan pekerja seks komersil (PSK) ke dalam kelompok ini dan juga ashnaf lainnya.
Persoalan juga muncul dari sisi pengelola zakat. Profesionalitas lembaga pengelola zakat baik dari sisi manajerial, transparansi dan akuntabilitas lembaga dianggap belum maksimal, sehingga belum memberikan dampak yang luas dalam isu penuntasan kemiskinan sebagaimana yang diharapkan.
Ditambah dengan hambatan politis yang berkaitan dengan political will pemerintah dan dukungan regulasi yang belum memadai. Bahkan tak jarang terjadi perbenturan kepentingan antara lembaga yang kesemuanya memberikan kontribusi tidak idealnya peran zakat di Indonesia
Profesionalitas Lembaga Zakat Era Digital
Pertaruhan yang paling mendasar dari persoalan zakat adalah profesionalitas lembaga pengelola zakat. Di pundak lembaga zakatlah peradaban zakat mundur atau maju. Berbicara profesionalitas maka persoalan akuntabilitas dan transparansi menjadi hal yang paling penting diwujudkan.
Akutabilitas dan transaparan harus dilakukan sejak “hulu” sampai “hilir dengan membuat sistem penerimaan, pengelolaan, database dan seterusnya. Apalagi, dalam pelaporan, akuntabilitas dan transaparansi adalah kuncinya.
Lembaga zakat seyogyanya tidak hanya memberikan akses seluas-luasnya, namun juga akses yang mudah kepada muzakki dan masyarakat soal pengelolaan dana ZIS, lengkap dengan dokumentasi keuangan yang transparan.
Pada era ini, era digital, semua bentuk akuntabilitas dan transparansi dapat dilakukan dengan menggunakan sistem informasi dan teknologi yang canggih dan mudah. Karenanya, berbicara penguatan tata Kelola lembaga di era digital maka harus berkaitan dengan sistem digital yang tidak bisa dielakkan.
Untuk itulah, pengurus lembaga zakat hendaknya diisi oleh para profesional di bidangnya masing-masing. Tidak bisa tidak, penguatan manajemen SDM Amil sangat dipentingkan terutama yang berkaitan dengan skill dalam bidang informasi dan teknologi.
Tidak hanya sampai di situ, perkembangan arus informasi dan teknologi mau tidak mau berdampak terhadap budaya kerja organisasi yang sangat mengandalkan teknologi itu. Sebagaimana yang dirasakan dan dilihat bahwa terjadi pergeseran budaya masyarakat sebagai konsekuensi kemajuan teknologi.
Demikian juga dalam mengurus zakat di mana juga terjadi pergeseran budaya kerja yang harus disikapi secara adaptif. Dengan kata lain, seluruh jajaran pengurus lembaga zakat tidak bisa lagi mengandalkan kemampuan manual dan budaya kerja manusia. Bahkan, untuk mersepons hal itu, sudah saatnya Baznas mempunyai standarisasi profil amil.
Lebih dari itu SDM lembaga zakat hendaknya mempunyai sistem pengembangan peta karir dan peta jabatan yang sistematis dan terukur, layaknya perusahaan yang bonafit. Alangkah idealnya jika pengembangan SDM di lingkungan Baznas dilakukan dengan lembaga pendamping secara tersendiri, apakah seperti BAZNAS Institut atau bentuk lembaga lainnya, yang diharapkan dapat menggodok sumber daya manusia secara berkelanjutan
Penguatan lembaga zakat selanjutnya adalah dengan meningkatkan literasi zakat kepada seluruh stakeholders. Partisipasi semua pihak dalam membangun lingkungan zakat dipastikan berawal dari pemahaman yang baik dan utuh terhadap zakat.
Untuk memperkuat literasi zakat di era ini, juga harus dengan menggunakan cara-cara kreatif di dunia maya, sebut saja dengan bentuk youtube, tik-tok dan kreasi-kreasi yang dinamis sehingga masyarakat lebih mudah memahami hal-hal yang berkaitan dengan zakat.
Tidak kalah penting dari itu hal yang sangat mendasar harus dilakukan dalam upaya optimalisai pengumpulan zakat adalah melakukan pemetaan dan strategi pencapaian potensi zakat berbasis wilayah dan jenis zakat.
Pemetaan ini mutlak diperlukan untuk memahami bentuk dan prioritas program kerja serta bentuk layanan yang tepat dilakukan. Tidak hanya itu, pemetaan potensi dan penyaluran zakat secara otomatis memperluas cakupan muzakki yang menjadi sasaran utama pengumpulan zakat.
Pada aspek hulu, program yang tak kalah pentingnya adalah program peningkatan kesejahteraan masyarakat. Program-program tata kelola zakat tidaklah dilakukan dengan sporadik, namun harus mempunyai target dan ukuran yang jelas.
Sebut saja sebagai contoh, sejauhmana dampak pengurangan kemiskinan dari dana zakat yang disalurkan. Meminjam teori Awen’s Law yang mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi sebuah negara dengan tingkat penurunan pengangguran kiranya perlu dicontoh, agar dana zakat yang digelontorkan terukur kemanfaatannya dan tentu dapat berdayaguna secara maksimal.
Sampai di sini, maka lembaga zakat harus mempunyai prototyping program zakat yang dilengkapi dengan model program yang dinamis berdasar kepada based on the needs lengkap dengan rencana jangka panjang dan pendek.
Lebih dari itu, upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak berjalan sendiri-sendiri alias partisal, maka program lembaga zakat harus terintegrasi dan harmonis dengan Rencana Program jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Program jangka Menengah Daerah (RPJMD) di daerah masing-masing.
Dengan ikhtiar yang maksimal diiringi doa dan dukungan semua pihak untuk mewujudkan zakat yang berdaya, semoga pengurus Baznas Sumatera Utara yang hari ini dilantik dapat menjalankan amanah ini dengan sebaik-baiknya. Amin. Semoga.
Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN SU.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.