ANTROPOLOGI HUKUM-PILIHAN HUKUM “MASYARAKAT”

  • Bagikan


PROBLEM terbesar hukum sampai saat ini ialah tingkat kepatuhan hukum. Pilihan masyarakat dalam mematuhi hukum menjadi kondisi yang dilema, mengingat, kepatuhan terhadap hukum bukan hanya disandarkan pada pakar-pakar dan ilmuwan, kepatuhan hukum harus mengikat pada seluruh manusia dalam setiap lapisan.

Kesenjangan kepentingan menjadi problem dua sisi. Pemerintah sebagai penjalan amanat Undang-undang dan peraturan menganggap masyarakat tidak memiliki kepatuhan yang absolut, sehingga kepatuhan terhadap hukum masih sering bermain pada ruang kepentingan (Utilitarian).

Di sisi lain, masyarakat juga menganggap Hukum dan kebijakan pemerintah sebagai bagian dari hukum sering tidak memihak kepentingan masyarakat. Hal inilah yang membuat kepentingan terhadap hukum menjadi sangat fungsional.

Sebaliknya, jika larangan bersinggungan dengan kepentingan, maka larangan hanya akan menjadi “Rambu kasuistik” yang akan dipatuhi apabila dilihat, dan hukum menjadi abai jika tidak ada yang menyaksikan.. Sebut saja peraturan lalulintas tentang memakai Helm bagi pengendara motor. Fungsi helm “hampir” berubah tujuan. Jika di tanya mengapa memakai helm, maka jawabannya karena ada polisi.

Berlakulah hukum kebalikan. Jika tak ada polisi, maka tak wajib memakai helm.
Contoh-contoh kecil tersebut menjadi dasar bahwa gerak pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat beralih, dari normativitas menuju realitas.

Dalam hal ini kita bisa memakai pendekatan realisme hukum, atau teori utilitarianisme. Bahwa hukum sebagai kepatuhan akan bergerak pada ruang kepentingan dan kemanfaatan. Masyarakat modern, lebih memilih hukum sebagai asas individual. Hal ini berbeda dengan pemikiran hukum masyarakat tradisional yang cenderung menempatkan hukum pada gerak sosial.

Posisi Hukum Pada Masyarakat Dahulu


Kehidupan ini berpacu dengan kepentingan. Jika kita melihat sejarah, hukum pada masyarakat hegemoni yang sangat agraris gerak dan fikirnya, ditempatkan sebagai kewibawaan.

Melanggar hukum, berarti mencedarii kewibawaan. Yang terganggu bukan hanya kehidupan pribadi, namun juga kehidupan sosial. Dalam kehidupan perkampungan suku Batak Mandailing misalnya, kepala kampung (Kepala desa) akan menjadi orang yang paling bertanggung jawab secara struktural terhadap keamanan dan keadaban masyarakat di kampungnya.

Jika ada saja kedapatan penduduk kampung tersebut mencuri, maka dengan cepat-lah stigma “kampung pencuri” dinobatkan pada kampung tersebut, meskipun pencuri hanya satu orang, selebihnya orang baik dan taat beragama.
Persentuhan Hukum Formal dengan Hukum adat, atau boleh kita sebut sebagai bagian dari tradisi dan kebudayaan, ditambah lagi pemahaman masyarakat tentang hukum agama, menjadi perpaduan yang sering membuat masyarakat tidak berketetapan dalam pilihan.

Terkadang kecenderungan memilih hukum berpihak pada hukum adat, bisa juga hukum agama, dan terkadang masyarakat sangat formal, memandang hukum sebagai tujuan.

Dalam hal inilah Bowen (Peneliti tentang resolusi atas konflik di Aceh) menyebutkan dalam hasil penelitiannya, bahwa masyarakat Aceh dalam mematuhi hukum memakai pendekatan The Shopping Theory, maksudnya masyarakat Aceh, ketika memilih hukum seberti “berbelanja” sehingga pada masalahan yang sama dengan masyarakat yang berbeda, bisa berbeda pilihan hukumnya. Walaupun masyarakat yang memakai pendekatan ini cenderung menggunakan Yurisprudiensi sebagai uji coba hukumnya.

Selain itu, yang lebih menarik, masyarakat terdahulu, (kita sebut saja masyarakat tradisional) sering berbeda menempatkan perbuatan hukum pirvat maupun publik.

Hal ini juga didasari oleh pandangan terhadap kewibawaan hukum. Masalah perkawinan dan kewarisan misalnya. Jika ada perkawinan masyarakat adat dengan tidak memakai upacara adat, maka masalah ini akan menjadi masalah publik.

Semua warga desa akan ikut resah, ketua adat mungkin akan marah, dan orang tersebut berikut keluarga garis keturunannya akan ikut bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Padahal, perkawinan dengan segala peraturannya adalah masalah privat yang sangat individualis sifatnya.

Lain lagi misalnya kasus penyiksaan yang terjadi disebabkan pertarungan antara kampung A dan kampung B, maka semua warga akan berupaya melindungi warganya untuk tidak tereksekusi secara hukum, karena ini akan mengganggu wibawa kelompok. Padahal masalah penyiksaan adalah masalah publik. Dan banyak kasus publik yang juga mampu diselesaikan secara privat oleh masyarakat tradisional.


Kepatuhan Hukum dan Swalayan Kepentingan

Maka, berbicara hukum, kita tidak akan pernah melepas kepentingan. Perubahan kehidupan masyarakat akan menjadi alasan yang kuat mengapa kepatuhan hukum masyarakat berubah.

Masyarakat tanpa sadar lebih sering menjadi mujtahid “dadakan” dalam pilihan hukumnya. Sampai pada hukum yang belum ada, belum tertulis dan belum terfikirkan.

Pada ruang inilah gerak hukum menjadi elastis. Pergeseran makna hukum sebagai aturan formal menjadi kehidupan sosial membuat elastisitas hukum menguat.

Meskipun negara Indonesia terikat dengan suasana Positivisme, namun realitanya secara kasuistik masyarakat lebih memilih kemanfaatan sebagai alasan hukum.

Bergeraknya pemahaman masyarakat dari hukum sebagai norma menjadi hukum sebagai kehidupan, memperbanyak sendi kepentingan dalam hukum.

Bisa juga peralihan suasana hukum ini disebabkan ke-apatisan masyarakat mempercayai kekuatan hukum. Sebab hukum sudah menjadi kepentingan politik, ekonomi dan kapitalisme berbangsa.

Meskipun ini bukan sebuah penyesalan, namun lebih tepat dikatakan sebagai konsekwensi dari bangsa berkembang yang bergerak menuju bangsa maju.

Di zaman peralihan ini, gerak pencapaian, tidak lagi dimaknai berbatas dengan norma dan kewibawaan, tapi gerak pencapaian itu berbatas dengan keberhasilan ekonomi dan politik. Sehigga mau tak mau, peralihan suasana normativitas sudah bergerak jauh menuju aktualitas dan pragmatis.dan ini sebuah konsekwensi.

Menarik dicermati apa yang dijelaskan Prof. N. A. Fadhil, pakar Antropologi Sosiologi Hukum Islam IAIN SU, jik aterjadi interaksi dua jenis hukum, maka akan terjadi empat hal sebagai kemungkinannya.
Pertama, terjadi Integrasi Hukum.

Hal ini akan terjadi jika salah satu hukum lebih kuat dari hukum lainnya. Sebut saja orang Aceh yang lama tinggal di kampong Mandailing. Pada dasarnya ia orang aceh, mahir berbahasa Aceh, dan berprilaku orang Aceh. Namun, karna ia tinggal di komunitas Mandailing, maka perubahan prilaku, bahasa dan cara hidupnya menjadi Prilaku Mandailing menjadi bagian yang integral dua prilaku menjadi satu.

Dalam masalah hukum bisa kita contohkan dengan tradisi dalam perkawinan bergabung dengan pemahaman hukum perkawinan masyarakat Muslim Mandailing, sehingga adat dan tradisi yang diselenggarakan tersebut diyakini integral dengan kepatuhan terhadap Hukum Islam tersebut.

Kedua, terjadi Asimilasi, yaitu percampuran dua tradisi hukum atau lebih, namun dalam prakteknya ciri hukum masing-masing masih kelihatan, misalnya saja ada pesta perkawinan adat Mandailing dan Jawa, pada saat resepsi pakaian adat keduanya dipakai secara bergantian, hidangannya pun di buat sedemikian rupa mewakili adat masing-masing tanpa membedakan satu dengan yang lain.

Asimilasi hukum terjadi bilamana keseimbangan kebutuhan hukum terhadap produk hukum tersebut sama pentingnya dan mewakili subtansi masing-masing.

Ketiga, terjadi akulturasi, yaitu percampuran dua hukum atau lebih dan menghasilkan hukum yang baru, sehingga hukum yang lama tak bisa ditandai lagi. Bisa kita contohkan dengan budaya Betawi.

Ternyata budaya Betawi itu gabungan dari budaya Cina, Pesisir, budaya local keindonesiaan dan mungkin percampuran dengan budaya lainnya. Sehingga saat ini yang kita kenal adalah budaya Betawi. Yang keempat terjadi Segregasi.

Yaitu Fenomena hukum hidup bersama secara terpisah. Contohnya kita bisa mengenali ada kampong Mandailing, Kampung Jawa, Kampung Betawi, Kampung Keling dsb.

Keempat, terjadi segregasi, yaitu hukum yang terpisah antara satu dan yang lain, hidup dengan sendirinya tanpa merusak satu dan lainnya. Hukum masing-masing berjalan dan membentuk karakternya sendiri.
Inilah bagian dari kepatuhan hukum. Hukum.

Bahwa hukum adalah kehidupan yang berjalan sesuai dengan tujuannya. Maka, masyarakat akan cenderung menggunakan hak pilihnya terhadap hukum, meskipun masyarakat punya pemahaman norma hukum yang menjadi pusat keadaban.

Misalnya jujur adalah norma sebagai pusat keadaban prilaku dan hukum, namun secara kasuistik masyarakat akan memilih prilaku hukum tentang kejujuran tersebut.

Semoga tulisan ini menjadi kontribusi terhadap dinamika hukum keindonesiaan ke depannya. (Kapus Pengabdian Kepada Masyarakat UIN SU; Penulis Buku Filsafat Hukum Islam & Maqashid Syariah)


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

ANTROPOLOGI HUKUM-PILIHAN HUKUM “MASYARAKAT”

ANTROPOLOGI HUKUM-PILIHAN HUKUM “MASYARAKAT”

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *